Sekolah SMP yang terbilang minim fasilitas ini letaknya di Desa Dagasuli, tapi siswanya rata-rata berasal dari Desa Dedeta. Kedua desa ini bertetangga, namun dipisahkan dengan selat sejauh 100 meter.
Mariati, satu dari sekian siswi SMP asal Desa Dedeta bersekolah di SMPN 26. Sehari-hari dia dan rekannya harus menghadapi kenyataan pahit ketika berangkat atau pulang dari sekolah. Mereka harus melewati jalan terjal, licin dan penuh semak belukar. Tak ada pilihan lain, mereka harus melintasi jalan menuju sekolah dengan jarak tempuh kurang lebih 2 kilometer.

Rintangan tak berhenti disitu saja. Sesampainya di ujung perkampungan tepatnya di selat yang memisahkan Dedeta dan Dagasuli, Mariati dan rekan-rekannya terlebih dahulu melewati sebuah jembatan yang tiang kakinya dicor tapi alasnya menggunakan papan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Panjang jembatan ini 100 meter dengan lebar hampir 3 meter. Jembatan tersebut menjadi satu-satunya akses warga dari Dedeta ke Dagasuli dan sebaliknya. Sayangnya, meski terlihat kokoh tapi jembatan itu sudah tak layak dilalui karena papan yang menjadi pengalas jembatan sudah rapuh dan rusak.
Untuk melalui jembatan itu, para siswa harus ekstra hati-hati karena banyak papan yang bolong dan rusak parah termakan usia. Setidaknya kurang lebih ada 10 titik kerusakannya. Sesekali mereka terpaksa melompat atau membentangi papan dan balok untuk dijadikan pengalas agar bisa melalui jembatan itu.
“Tara (tidak) apa-apa, torang (kami) sudah terbiasa begini,” cetus Mariati sembari lihai mengamati setiap jari-jari papan yang bolong dan rapuh itu.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya