Walaupun sudah terbiasa, tapi siswi yang baru duduk di bangku kelas 2 SMP ini merindukan sentuhan pemerintah daerah setempat. “Sudah terbiasa, tapi kalau diperbaiki dan lebih bagus kami senang,” sahut Mariati yang polos sambil berharap bupati yang terpilih pada Pilkada 2024 bisa menengok kondisi mereka.
Mariati dan para siswa SMPN 26 asal Dedeta sebelumnya berpapasan dengan jurnalis media ini sekira pukul 14.50 Wit, saat mereka pulang dari sekolah.
Langkah Mariati dkk, sepulang sekolah ini penuh perjuangan. Cuaca terpantau kurang bersahabat membuat keringat dan air hujan bercampur membasahi seragam putih biru mereka. Anak berusia 12 tahun itu mengaku biarpun hujan, mereka harus menempuh perjalanan menuju atau balik dari sekolah karena jaraknya jauh dan cukup memakan waktu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bila terlambat, konsekuensinya sampai ke rumah sudah gelap. Meski begitu, Mariati mengatakan untuk melepas lelah sesekali mereka beristirahat sejenak. “Biasanya torang (kami) sampai di rumah jam 5 sore lebih,” akunya.

Di tangan Mariati tampak sebuah galon berukuran 5 liter yang dipegang eratnya. Saat ditanya kenapa harus menenteng galon tersebut, ia hanya tersenyum sembari melirik temannya yang meledek tipis. Jurnalis media ini tak menanyainya lebih jauh soal galon tersebut. Sebab, kebiasaan ini lumrah dilakukan para pelajar menurut warga. Mereka khawatir tenggelam jika sewaktu-waktu kemungkinan itu terjadi.
Mariati mengisahkan, keseharian siswa asal Dedeta memang sedari dulu sudah seperti ini, bukan hanya di generasi dia saja. Kalau ke sekolah harus melewati jalan rabat beton yang penuh belukar. Jalanan sempit, yang dibatasi oleh jurang dan kebun warga ini bukan pilihan, tapi bagi mereka ini satu-satunya akses yang cepat jika ditempuh.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya