Arifin mengisahkan, sebelum generasinya, SMPN 26 adalah sekolah yang menjadi tujuan para siswa asal Dedeta menimba ilmu termasuk kakaknya. Saat itu, jembatan penghubung ke dua desa belum ada. Untuk berangkat ke sekolah, para siswa di zaman sebelum Arifin terpaksa berenang menyeberangi selat yang memutus akses kedua desa ini. Untung perairan ini terbilang dangkal kendati air pasang.
“Jadi waktu itu kakak saya dan teman-temannya cuma berenang dan pakaian seragam di isi di dalam wadah atau bokor,” kisah mahasiswa IAIN Ternate ini.
Jembatan penghubung Dedeta dan Dagasuli baru dibangun pada tahun 2012 silam di zaman Arifin bersekolah di SMPN 26. “Kalau kisah-kisah anak sekolah dahulu lebih sengsara ketimbang dengan sekarang ini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kisah heroik para siswa asal Dedeta yang menimba ilmu di Desa Dagasuli mungkin menjadi menjadi satu dari sekian cerita pengorbanan para siswa di Indonesia dalam menimba ilmu.
Kisah perjuangan dua generasi berbeda baik itu Mariati dan Arifin serta generasi sebelum mereka menjadi potret nyata kehidupan para siswa di daerah terpencil. Mariati dan Arifin bahkan warga pada umumnya berharap ada perhatian serius dari pemerintah daerah. Setidaknya mempermudah mereka mengakses pendidikan dengan mudah tanpa harus telat pulang ke rumah, tanpa harus menyapu keringat dan beristirahat sejenak di jalanan. ***