Ternate, Haliyora
Setelah dilakukan pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law oleh DPR RI pada Selasa (6/10) kemarin, publik mulai menyampaikan beragam reaksi. Salah satunya hadir dari Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Mukhtar Adam.
Menurut Mukhtar, Undang-Undang yang disahkan itu adalah UU sakratul maut, karena menjadi kontroversi sejak diumukan presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam catatan, terdapat 2 fraksi DPR RI yang menolak pengesahan UU tersebut. Salah satunya, F-Demokrat yang nampak paling ngotot, sebab UU tersebut disahkan saat Indonesia mengalami bencana Covid-19.
“DKI Jakarta lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian memaksa kaum buruh dan mahasiswa keluar tumpah-ruah di jalan untuk menentang semua yang menghambat,” jelasnya, Rabu (7/10).
Disampaikan Mukhtar, konsep Omnibus Law sendiri adalah kebijakan yang mengkonsultasikan UU yang terkait dengan investasi dan ketenaga- kerjaan dalam satu paket UU yang baru diterbitkan tersebut. Kepentingannya untuk mendorong percepatan pemulihan dan pembenahan ekonomi yang menghambat laju gerak ekonomi.
Ia juga menjelaskan, bahwa Indonesia sudah masuk dalam negara berpendapatan tinggi, namun di saat yang sama pertumbuhan ekonomi hanya mampu menarik angkatan kerja baru sebesar 400.000 orang, sedangkan laju pertumbuhan angkatan kerja per tahun terus meningkat dan tidak mampu diserap dengan pertumbuhan ekonomi yang tersedia.
Artinya, dibutuhkan kebijakan yang mampu mengkonsultasikan pertumbuhan ekonomi yang mampu menyerap angkatan kerja yang lebih banyak, karena itu pilihan kemudian berbagai kemudahan investasi perlu dilakukan dengan omnibus-law.
Namun, kata Mukhtar, di beberapa pasal utamanya terkait tenaga kerja asing, kompensasi tenaga kerja dan skema pengembangan angkatan kerja yang menjadi titik penolakan bagi kaum buruh, terdapat beberapa sektor strategis yang juga terkena imbas, termasuk sektor pertanian.
“Sayangnya pengesahaan UU tidak pada momentum yang pas, sehingga berpotensi menjadi sakratul-maut bagi pekerja yang saat ini berdemo berhadapan dengan ganasnya Covid-19, yang akan membentuk klaster baru,” jelas Mukhtar.
Akademisi Unkhair Ternate ini juga menuturkan, kaum buruh menganggap UU omnibus-law menjadi keranda mayat bagi mereka, sebab ada beberapa pasal yang belum tersosialisasi dengan baik, termasuk melakukan derivatif pada peraturan lain yang mengikutinya, seperti Peraturan Presiden dan lain-lain.
“Untuk itu baiknya dilakukan dulu penundaan penerapan omnibus-law sampai dengan kondisi penanganan Covid-19 terkendali dan momentum pemulihan membaik baru diterapkan, sehingga tidak berefek bagi kondisi kesehatan masyarakat termasuk kondisi kesehatan ekonomi masyarakat,” pungkasnya. (Andre-Pr)