Oleh : Asmar Hi. Daud (Akademisi)
Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda beberapa waktu lalu menyerahkan secara simbolis bantuan armada tangkap untuk nelayan kecil. Namun menurut laporan media Haliyora.id (18 Juni 2025), hingga kini belum ada realisasi teknis di lapangan.
Kapal-kapal tersebut belum diproduksi, belum dikirim, dan belum ada kejelasan kapan nelayan bisa benar-benar menggunakannya. Artinya, seremoni memang sudah digelar, tapi substansi belum berjalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah tantangan perikanan tangkap dan desakan transformasi ekonomi pesisir, ketidakhadiran armada ini menjadi lebih dari sekadar penundaan administratif. Armada ini menjadi cermin bagaimana simbol politik sering kali mendahului sistem kebijakan. Padahal, membangun sektor perikanan tidak cukup dengan niat baik dan seremoni; ia membutuhkan sistem yang bekerja dari laut ke darat, dari produksi, pengolahan, distribusi, hingga pasar.
Armada Kecil, Penting, Tapi Tidak Cukup
Armada berkapasitas 1,5–3 GT memang relevan untuk nelayan pesisir. Dengan ukuran kecil, mereka mampu menjangkau perairan dekat pantai dan menopang perikanan skala rumah tangga (artisanal fisheries). Namun, daya jelajah mereka sangat terbatas, maksimal di bawah 12 mil laut.
Mereka belum mampu menjangkau wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang lebih jauh atau kawasan sumber daya yang masih underutilized. Artinya, jika tujuannya adalah menggerakkan ekonomi perikanan secara menyeluruh, armada kecil hanya menyentuh permukaan. Mereka adalah syarat perlu, tapi bukan syarat cukup.
Dampak pada Industri dan Kesejahteraan
Dalam perspektif industri perikanan, kapal kecil tidak cukup kuat menopang kebutuhan produksi skala besar. Tanpa kapal ≥10 GT, tanpa cold storage, tanpa pelabuhan pendaratan yang layak antarpulau, dan tanpa sistem pengolahan terintegrasi, maka rantai nilai perikanan tetap terputus.
Lebih jauh, dampak kesejahteraan bagi nelayan juga bergantung pada bagaimana kapal ini dikelola.
Apakah disertai pelatihan usaha? Apakah dijalankan secara kooperatif atau dikendalikan oleh elit lokal atau personal?
Apakah nelayan memiliki akses terhadap pasar, harga, dan subsidi BBM?
Tanpa sistem pendukung itu, kapal bisa berubah menjadi beban: tidak bisa beroperasi, atau justru memperkuat ketimpangan penguasaan alat produksi.
Masalah Sistem
Laporan Haliyora menunjukkan bahwa kapal bantuan belum “dikerjakan.” Artinya, belum ada proses pengadaan, belum ada verifikasi kelompok penerima, belum ada penjadwalan distribusi. Dengan kata lain, publik hanya disuguhi seremoni, bukan sistem.
Ini bukan semata soal teknis. Ini soal trust, kepercayaan nelayan terhadap pemerintah -negara. Ketika bantuan yang dijanjikan tak kunjung datang, maka yang rusak bukan hanya agenda pembangunan, tapi juga kredibilitas pemerintah.
“Dalam dunia perikanan, janji tanpa kapal ibarat kapal tanpa bahan bakar: tak akan pernah berlayar, apalagi tiba di zona tangkapan. Ia berhenti sebagai ilusi, hanya mengapung di permukaan harapan.”
Lantas apa yang Seharusnya Dilakukan?
Sudah saatnya Pemprov Maluku Utara menggeser pendekatan dari seremonial ke sistemik. Langkah-langkah strategis berikut perlu dipertimbangkan :
Segmentasi armada tangkap sesuai karakter wilayah: kapal kecil untuk pesisir, menengah untuk antar-pulau, dan besar untuk laut lepas.
Selain itu, pemetaan zonasi produksi berdasarkan data stok ikan, untuk menghindari kelebihan tangkap (overfishing), dan mengoptimalkan wilayah yang masih rendah tekanan;
Bangun sentra logistik perikanan seperti cold storage mini, SPBN, dan PPI di pulau-pulau basis nelayan yang terkoneksi ke pasar;
Perkuat koperasi nelayan, bukan hanya sebagai penerima, tapi sebagai pengelola armada secara kolektif dan transparan; serta,
Dorong hilirisasi dan pemasaran digital, agar nilai tambah tidak hanya dinikmati oleh tengkulak, pedagang perantara, pedagang besar atau perusahaan.
Armada Benar Berlayar
Armada 1,5–3 GT bisa membantu nelayan kecil, tetapi bukanlah jawaban tunggal untuk membangun ekonomi maritim Maluku Utara. Untuk itu, seluruh program pemberdayaan harus berbasis sistem, bukan sekadar seremoni. Armada harus dirancang, diproduksi, didistribusi, dan dikelola secara kolektif, tentu oleh koperasi nelayan itu sendiri. Dan yang paling penting adalah armada itu harus benar-benar sampai ke laut, bukan hanya berhenti di podium.
Masyarakat pesisir menanti bukan sekadar kapal, melainkan keadilan dan keberpihakan yang nyata. Armada tangkap tak seharusnya menjadi simbol kosong yang karam sebelum sempat berlayar, sebelum jaring dan pancing mereka menebar kehidupan, sebelum umpan harapan menyentuh dasar lautan perjuangan mereka. ***