Cerita Orang-orang Halmahera dan Tanahnya dari Pohon Kehidupan yang Tumbang

- Editor

Minggu, 23 Februari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto Facebook Galela Tobelo Tempo Doeloe

Foto Facebook Galela Tobelo Tempo Doeloe

 Oleh : Rudhy Pravda

Hutan dan Cahaya Kota. Impian yang lebih indah dari hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, ketika mereka tak pernah tahu, melihat, dan merasakan keberkahan hutan dan karunia alam semesta. Mereka tak menikmati cahaya kota karena tak terjamah oleh keinginan duniawi. Hidup mereka yang berburu dan meramu, berbagi dengan adil hasil panennya dan menikmati dengan bahagia. Tidak. “Barangkali mereka ingin, tapi itulah ingin, diatas segala-galanya, tak bisa menemukan keabadian hidupnya, keindahan hutan yang hijau, gunung yang diselimuti awan putih pada sinar fajar yang lembut, ufuk kehangatan pada senja sore hari, sebelum gelap malam menenggelamkan dalam bumi; sunyi, bunyi, dari suara-suara ajaib makhluk di atas pepohonan”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mereka punya setumpuk harapan juga seluas impian, mengalir jernih bagai air kebebasan, pada sungai yang ditinggali hewan-hewan merdeka di dalamnya, pada pasir hitam-putih dan batu lumut yang mengukir rumah-rumah kehidupannya, di dasar air sungai gemericik yang berbisik-bisik lirik, kesyahduan dan maha kuasa alam, pada daun dan pelepah pohon yang mengkafani tubuh mereka juga menjadi obat pembunuh penyakit seperti fitrah manusia yang bahagia.

Air yang dingin pada gerimis pagi, mengalir butir-butir embun, tanah yang basah sebelum bersalaman dan berpeluk hangat dengan kasih sayang sang fajar dari langit yang memutih. Karunia cahaya pagi dan senja yang membaluri hidup juga seperti malam-malam gelap, sunyi dan tenang dipayungi langit dengan rintik hujan kehidupan. Berpindah tempat melintasi belantara hutan, mempertahankan hidup dari kasih sayang alam, mereka bebas bagai pohon-pohon hitam berdiri tegak ratusan tahun, tak goyah ditundukkan oleh kemegahan, bagai batu cadas kehidupan yang tidak bisa ditumpas oleh kerakusan manusia yang hidupnya dikalungi keserakahan melanggar hukum-hukum alam.

Mereka menemukan cakrawala hidup itu di tempat rimba yang indah, namun tak lagi hijau, ramah dan organik, sejuk penuh kehangatan. “Diatas segala-galanya, kaki-kaki akar kehidupan yang bertahan pada tanah harum, setelah hujan membasahinya terancam tumbang menjadi racun, melayu dan membunuh.” Suara angin yang berbisik dengan lembut, lirihnya lagu-lagu hutan, kicauan burung bahagia saat bercinta, menari menikmati pagi dan sore sebelum menyatukan diri pada pelukan romantis di malam-malam panjang asmaranya yang membuncah, telah kehilangan panggungnya. 

Mereka takzim mencinta dan menyayangi hutan, tanah, dan lingkungan yang memberi kehidupan tapi dirampas dan ditumpas, yang secara harfiah mereka telah kehilangan kasih dari sang pemberi hidup. Hutan dan kota adalah pemisah yang agung, bagai surga hidupnya dan neraka yang menyala-nyala bara api jahanamnya dari manusia serakah melangkahi hukum-hukum alam. Atas nama modal, uang, dan kekuasaan, tak ada cahaya bulan dan bintang yang jadi panduan memberi terang kesadaran pada manusia iblis yang mati tubuhnya, hidup jiwa rakusnya. 

Inilah catatan yang mengutuk kehancuran hutan, memusnahkan pohon kehidupan, mata air keindahan, gunung pejuangan, dan tanah keagungan, adalah ilham bagi karunia bumi yang dipeluk manusia dan makhluk hidup yang ada. “Tentang arti cahaya pada kota yang penuh kejahatan hasil dari merampas hutan dan merusaknya, memburu-buru yang mempunyai hak mendiami di dalamnya.”

TERUSIR: (untuk mereka yang berjuang di desa dan di kota). Luas tanah yang dikelilingi pabrik di bawah cakar kolong langit yang haru-biru mulut eskavator menganga menancapkan gigi dan kukunya. Di dalam gedung pembakaran, tungku perapian menyala-nyala menghantui pemusnahan. Diluar terbangun hotel dan penginapan, rumah-rumah hasrat seksual tempat PSK dibuat, disembunyikan untuk memuaskan gairah kejenisan laki-dan-perempuan, dan penyakit kelamin merajalela, hingga pendekar-pendekar bangsat  jatuh-bangun pada skandal perselingkuhan antara satu dengan yang lainnya, dan menularkan penyakitan HIV dan AIDS. 

Indekos dan asrama tempat tinggal yang tak layak juga mahal di-huni oleh manusia-manusia buruh (kelas pekerja) yang miskin dan menderita, beratus-ratus mobil dan motor bikinan Jepang, mondar-mandir setiap hari di-jalan kuning kecoklatan yang licin, mengundang bahaya kecelakaan kerja. Diatas tumpukan keringat kerja murah manusia yang bernama buruh, dan makanan-makanan hasil petani, juga buruh di kota lain. Pakaian dan segala-galanya barang kebutuhan hidup–hasil tenaga kerja yang dirampas oleh kapitalis-kapitalis Cina dan Tiongkok, juga negeri asing lainnya ikut main menitip modal raksasa di atas meja judi penindasan mengalir dari hulu sampai hilir, tembus ke batasan tanah dan hutan-hutan Halmahera yang kaya akan sumber daya alamnya, seperti pasar malam kehidupan.

Tapi, hidup pekerja itu dihiasi tenggelam dalam gemerlapan cahaya dari bola-bola lampu bikinan kapitalis. Diatas hamparan tanah yang luas nan rimbun pepohonan hijau, di punggung sebuah bukit yang landai terlihat manusia-manusia itu sedang memakan hutan, memakan bangkai saudaranya sendiri, juga jatuh satu persatu tersungkur kaku, mati, dilibas kecelakaan. Maut menunggu mereka di pintu gerbang keabadian dan kekekalan, seperti sudah menjadi takdir kematiannya. “Alam murka dan balas dendam terhadap perbuatan mereka–jatuh tak bernafas dengan kematian mengerikan, dan nyawa melayang entah kemana, seperti pohon-pohon yang tumbang itu, semua disulap menjadi rata-seperti-setan gundul tanpa tumbuhan, dan sungai-sungai jadi coklat, kuning dan merah.” 

Laut menjadi cerita tentang limbah dan keracunan, tempat pembuangan najis para pemakan hutan, membuat nasib nelayan menganga, malang-melintang mengadu-hidup pada badai dan ombak yang besar. Mereka  bermandi impian untuk bisa meraup hasil dari laut, tetapi cerita tentang laut tak lagi memberkahi kehidupan pada nelayan. Laut halmahera adalah ratapan kemiskinan, karena ikan-ikan menelan pil racun dari limbah pembuangan, yang keluar dari mulut-mulut pipa pertambangan, mengancam keselamatan manusia yang hidup dan menghidupi dari lingkungan yang ada.

Dongeng sejarah tentang raksasa penjajah Eropa dan Asia yang pernah takluk di negeri laut Halmahera. Cerita tentang Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang pernah ditumpas habis, tumbang oleh kekalahan terhina, kabur tunggang-langgang di atas hamparan tanah besar Halmahera. Rakyat dengan gagah berani mengusir para perampok dan penjajah dengan perang dan melawan, hingga kolonialis kabur dan berlayar kembali pulang melintasi lautan darah perlawanan, karena bala pasukan rakyat mengamuk di-garami pemberontakan. Perahu kora-kora, salawaku, tarian, bendera perang, mantra leluhur nenek moyang, parang, tombak, panah, bahasa, dan doa-doa  penakluk lautan-pewaris tanah dan hutan sekedar jadi cerita memuaskan surgawi telinga dan dongeng tidur anak-anak. Kini jadi ratapan kesedihan yang ternodai oleh tinta hitam kekuasaan laknat, ditulis dalam lembaran kitab rempah-rempah kepalsuan dan sekedar romantisme sejarawan pelacuran. 

BACA JUGA  Kerusakan Jalan Bobong di Taliabu Makin Parah, Kerek Kenaikan Tarif Bentor dan Angkot

Kapal-kapal besar dahulu ada, tenaga produktif yang berkembang, sumber rempah-rempah yang menjadi kekayaan dunia, primadona internasional hanya sekedar catatan membosankan pembaca dongeng. Tak ada relevansinya untuk sekarang. Raja-raja negeri Maluku Kie Raha yang dengan gagah-gagahan, mepercantik feodalismenya menganggap rakyat pemberontak, dan elit lokal bahu-membahu memakan kekayaan alam, tak menciptakan dan membikin industri untuk negerinya di Halmahera. 

Kapal-kapal yang sekarang ada begitu kecil, nasibnya digulung tenggelam di laut teluk halmahera menjadi persembahan puja-puji ritualitas, mitos dan takhayul sekedar sesajian dengan bayaran nyawa manusia menjadi korban hingga sekarang. Lalu apa yang mau dibanggakan warisan kolonialisme dahulu sebagai dongeng sejarah yang agung dalam kemenangan perjuangan dan perlawanan, bahkan negeri yang bisa merangsang para penjajah datang berbondong-bondong menetap lama disini, kalau kenyataanya yang hidup cuman watak dan kebudayaan manusia “menindas kebawah dan menjilat keatas” saling memangsa satu dengan yang lain sesama manusia. 

Semua jadi catatan, bahwa bukan negeri kecil yang terbelakang dan tertinggal, tetapi sengaja ditinggalkan oleh ISTANA NEGARA WARISAN KOLONIALISME dI JAKARTA dan KAKI TANGANNYA dI HALMAHERA. Dongeng yang jadi kenyataan: “hijau tumbang” dan “merah tandus”. Inilah musibah!

Cerita tentang kekayaan alam yang menjadi prioritas industri tambang, kekuasaan dan kerakusan manusia melanggar hukum alam. Mengingat sabda patuah masa muda; “Pergi Belanda, datang Jepang. Pergi Jepang datang Kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno jatuh, muncul orde baru kekuasaan Soeharto dan Bala Tentara dan Soeharto tumbang karena mahasiswa dan rakyat melawan selama 32 tahun. Pintu demokrasi didobrak, peti pandora sejarah dibongkar dan reformasi datang.” Terbukalah jalan baru bagi bangsa yang lepas dari jeruji penjara, dari rantai kediktatoran, dan hasilnya penghianatan. Akselerasi modal, karpet merah investasi, formasi elit, partai politik, konglomerat, kejayaan borjuasi, hukum, korupsi, dan nilai-nilai budaya lama tidak tumbang. 

Tambang, Gusur, Tangkap, Penjara, Usir, dan Bunuh 

Manusia, alam dan kehidupan yang hening. Organik yang harum, hijau alam, tanah subur, bukit gunung nan bersih, suci, pohon rimbun, bumi memberikan berkah kehidupan rahmat bagi manusia dan makhluk hidup. Hidayah bagi jiwa dan raga manusia memenuhi kebutuhan materiil dan spiritual. Di dalam rimbah ada manusia baik hati, beradab, dan tak merusak alam, namun mereka terusir, lalu meratap kesunyian kelam, menangis, melawan, sedih, ingin menang, menciptakan arah, tapi kalah dan diburu-buru bagai bintang liar saja.

Mereka yang melawan karena hak mereka dirampas, disumpahi dan didakwa. Semua telah berubah jadi merah, tandus dan bara api yang murka. Tanah yang indah nan elok, harum yang menusuk sampai ke tulang sumsum, “jadi merah semua terampas.” Mata air yang bersih rusak dengan kotoran limbah, akar pohon tercabut, tumbang, berguguran meratap kesedihan, burung-burung tak bersiul menari dan bernyanyi, tak ayal pula bercinta dengan kasih karena mereka kehilangan panggung yang disediakan alam. 

Langit menumpahkan hujan kutukan, turun melaknat terhadap manusia-manusia yang bersalah maupun tak bersalah—banjir dan tenggelam. Tidak ada lagi kasih, cinta dan sayang memberi berkah pada tanah (bumi-manusia); semua rusak, pohon-pohon kehidupan tak lagi bernyawa, menjadi ritual manusia sekadar dalam pergumulan doa berharap pengampunan alam. Kini, yang ada kampung berdekatan dengan lampu-lampu gemerlap–tambang megah berdiri kokoh: NHM, ANTAM, IWIP, ARA, HARITA, dan lain-lain dan lain-lain dihuni manusia pekerja layak seperti cerita Titanic yang mati tenggelam dalam samudera raya.

Apalah daya, hidup berkubang doa yang tersisa dan patuah akan mengunyah sabda kampungnya dengan sisa-sisa ritual penyesalan, penyelamatan, harapan dan mimpi kekuatan adat, juga simbol-simbol bahasa, sesajian keramat, lagu, tarian lokal perang itupun tak berkutik di hadapan angkara-murka modal asing, tak berdaya. Merasa bersalah cuma nostalgia, sayup-sayup mengingkari kesalahannya karena khianat terhadap alamnya, adatnya, saudaranya, seluruh hak manusiawi. Dan anak-anak muda sebelumnya, dahulu kala pernah bersama menerima, mendukung, menolak, melawan, khianat, “seperti karma semesta” memangsa saudaranya sendiri.”  Hidup Jadi Tragedi dan Berulang Jadi Komedi.

Melayu, meratap pasrah dan patah. Kesedihan adalah cerminan dari ketidakmampuan diri untuk bertindak, sekedar sedih dan tak bisa memperbaiki. Jalan panjang kekalahan beban pada generasi hari ini menjadi ukiran jejak langkah yang bertapak-tapak dilewati sebagai resiko penyerahan. Mereka pernah menghalangi, berbaris dengan tarian perang, mengumpulkan barisan massa, turun ke jalan, berorganisasi dan melawan menolak pembangunan orang asing yang datang mengeruk kekayaan dan mendustakan semua janji kesejahteraan. “Lapangan kerja, lapangan kerja, lapangan kerja,” merangsang anak-anak muda masuk tambang, berantas kemiskinan, seperti cermin kaca yang memantulkan hasil sejarahnya–keberulangan masa lalu pada masa kini yang benar adalah pengangguran, miskin, dan mendapatkan recehan-recehan menetes ke bawah. Masa depan menjadi cerita saling bunuh-bunuhan, ribut, tak adil, rampasan, korupsi dan lain sebagainya, itu pun diambil dari sebagian besar elit lokal, termasuk patuah dan anak-anak muda jadi maling.

Perjuangan karena kesadaran ingin mengubah keadaan yang lebih baik. Seperti palu godam yang memukul jiwa-jiwa anak muda. Diatas tanah bumi manusia Halmahera dan di lautan pengharapan telah tertulis penegasan yang mendeklarasikan proklamasi perlawanan. Kami hidup kembali, generasi yang memikul beban dosa dan kesalahan masa lalu. Generasi haram jaddah sejarah. “Kami tak menyerah, akan melawan, tetap mengakui kesalahan dan kekalahan—tetapi kami belajar pada sejarah dan sebuah arti pengalaman dan pengetahuan yang begitu berarti, Menabung Menjadi Sabda Militansi.” Kami terhormat karena bermartabat. Tentu, Kami Takzimi, Bahwa; Melawan Belum Tentu Kalah! Hayo Bangkit Lagi! Kibarkan Bendera Perlawanan!!

Kutuliskan Catatan Ini Kepada Kawan-kawan di Jalan Perlawanan

Kepada kawan kawan muda yang masih dijalan karena melawan dan terus berjuang. Kita tidak boleh terus merasa nyaman menikmati keadaan yang ada kawan kawan. Bertapa di kota-kota melupakan penindasan yang ada, dan terus terjadi pada rakyat dan kita menyimpan amarah dan membungkam mulut di laci sekolahan anak-anak mami. Orang orang khianat segala kalangan baik penguasa dan juga di kalangan pecundang di jalanan, terus memupuk komplotan, rivalitas dan kompetisi, ambisi dan egois yang diselimuti dengan kegilaan hormat dan pujian. 

BACA JUGA  4 Posisi Bercinta yang Harus Diwaspadai Pria

Mereka penguasa dan pengusaha kuasai negara dengan segala alat-alat penindasannya. Mereka jual Halmahera dengan harga murah yang mengorbankan alam yang kaya sumber kehidupan untuk orang-orang Maluku utara. Mereka lelang tanah, hutan, air, dengan segenap aturan undang-undang dan palu hukum sapu jagat, dan pengamanan aparat kekerasan untuk merampas hak rakyat dan mereka melindungi perampok. 

Mereka berjudi tentang izin-izin legal konsesi tambang dan mengkorup yang bukan haknya sumber kekayaan dari Maluku Utara. Mereka perlakukan rakyat lebih rendah, lebih hina dari binatang dan membuat cetak sejarah bahwa rakyat tak punya kuasa untuk merebut kekuasaan menentukan nasibnya sendiri. Mereka merusak hutan demi pertambangan dan mencemari laut dari limbah, dan menjual buruh dengan bayaran murah tenaga kerjanya, dan petani kehilangan tanahnya, lalu nelayan mengapung diatas lautan kehidupan yang tak pasti kesejahteraan dan kemakmuran mayoritas rakyat.

Kepada kawan-kawan muda yang masih dijalan karena melawan dan terus berjuang. Tak pantas kita begini terus kawan kawan. Mengikuti arus yang menghanyutkan kita, apalagi arus itu membuat kita tak bisa bersatu dalam melawan penindasan. Kita tak boleh sekedar berdoa di tepi-tepi kesedihan pada penderitaan, apalagi pasrahkan hidup pada kesunyian. Kita tak boleh menulis sajak, puisi, prosa, dan catatan sekedar romantisme, apalagi mengaburkan kenyataan jadi bombastis yang cuma ada pengharapan. 

Kita memang orang orang kalah, tapi kita tak boleh jadi pecundang dan menyerah. Kita tak boleh menjadi mahasiswa terlalu romantik sikapi kesetiaan, apalagi melacur untuk bisa menjilat pantat penguasa dengan segala pernak-pernik perhiasan feodalisme dan politik oportunistik. Kita tak boleh terlalu sering pandangi langit kelam kekalahan, dan kita biarkan kegagahan-kesadaran kita hanya jadi kenangan, dan keberanian kita hanya jadi catatan, dalam cerita-cerita dongengan gerakan tak bertujuan pada perubahan sejati alternatif dari keadaan hari ini.

Ayolah! kita bangkit sekarang, kita tinggalkan rasa sunyi, kita terjun ke semua medan pertempuran, mengambil momentum yang ada untuk bersiasat melawan. Kita teriakkan lagi pekik-pekik perjuangan, kita harus tulis prosa-prosa paling nyata, sajak sajak paling tajam, puisi-puisi penderitaan, berita-berita kemiskinan, tulisan-tulisan paling garang, dan sastra yang tidak jadi gombalan kepada penguasa, untuk mengubah nasib dan memuluskan jalan kita menjadi bosan miskin. Kita hidupkan lagi akar-akar sejarah sejati perjuangan rakyat, yang mereka racun, mereka bunuh, mereka matikan, dan mereka kuburkan. 

Kita tulis lagi puisi-puisi, bahasa-bahasa, dan lagu-lagu suara rakyat yang melawan, agar tidak jadi omongan yang keluar terbang melayang ditelan angin di angkasa. Kita gelorakan lagi semangat rakyat yang hanya meratapi segala kekalahan. Kita mahasiswa-mahasiswa sadar, anak-anak muda yang melawan, kita harus di depan!! Kita susun lagi barisan kepemimpinan nasional bersama rakyat yang lama dihinakan. Kita tunjukan arah perjuangan kita dengan tujuan yang jelas. Kita nyatakan keadilan untuk semua orang yang menjadi hak manusiawinya bagi siapapun yang tertindas. Kita melawan dengan belajar, berpendidikan, berorganisasi, konsolidasi, mobilisasi dan aksi. Kelak perubahan buat kita, kemenangan buat kita, adalah hasil dari tuntutan yang kita tuliskan dan perlawanan-perlawanan yang dulu kita gelorakan di corong perubahan.

Kita buat dalam barisan kata-kata hidup, seni, cinta, dan kasih sayang di atas panggung kebudayaan, politik dan aksi massa yang memiliki kekuatan visi-misi dan program yang ideologis. Puisi, prosa, sajak, drama, tarian, lukisan, dan seluruh bahasa ibu perlawanan-perlawanan sudah kita buktikan dalam belajar dan  berpraktek. Kita sudah memulai dan akan terus memulai. Pembangunan mereka hanya lah penuh kepalsuan. Kita perlu curiga dan bertanya untuk apa, siapa dan hasilnya bagaimana kita rasakan. Kegagalan dan keserakahan mereka berserakan di jalan-jalan kekuasaan yang bebal.

Kepada kawan-kawan muda yang masih dijalan karena melawan dan terus berjuang. Mari bicara untuk satukan perlawanan di jantung musuh, membakar titik kering yang menyala, mengumpulkan kekuatan di Halmahera dan Kota-kota dibawah payung Maluku Utara. Buang segala ragu, campakan semua bimbang, tegakkan prinsip perlawanan kita dan perjuangan kebudayaan. Kita bergerak kawan-kawan, bersama-sama, bahu-membahu, serentak-serempak. Kita lawan segala palsu, kita serang segala persekongkolan gelap, kita buru segala penipu, kita terjang segala kebohongan, kita sibak gelap-gulita, kita hancurkan semua kegilaan, kita tikam semua dusta, kita bunuh semua pembodohan. Jangan diam, jangan netral,  diam berarti pengkhianatan dan netral berarti cari aman. Tak ada menyerah, tak boleh anti konflik dan anti kritik apalagi tak sabar dan tak dewasa hingga berhenti. 

Ini perlawanan penghabisan hutan bersama kita dan alam menjaga kita. Dia telah pastikan kita menang bila mau melawan. Percayalah dan yakinlah, manusia bisa membuat kemajuan dan sejarahnya yang sejati karena perubahan masa depan masyarakat yang lebih baik.

Kepada kawan-kawan muda yang masih dijalan karena melawan dan terus berjuang. Tanggung Jawab masa depan ada pada kaum muda yang akan menghadapi gelombang dan lautan ujian yang begitu besar. Ambillah resiko itu. Aku menutup catatan ini dengan ungkapan Benazir Bhutto : “Saat yang paling indah dari sebuah kapal adalah saat ditambatkan di sebuah dermaga. Dia cantik sekali bermandikan cahaya, tapi jangan pernah lupa kapal tidak pernah di buat untuk ditambatkan di dermaga. Kapal dibuat untuk menghajar gelombang membelah lautan”. ***

Berita Terkait

Menatap Masa Depan dengan AI : Panduan Inspiratif dari Mhd Arjunanta
Dari Radikal ke Jalan Benar, Ini Kisah Pria Asal Surabaya yang Pernah Bergelut dengan Kaum Kiri di Timur Tengah
Kerusakan Jalan Bobong di Taliabu Makin Parah, Kerek Kenaikan Tarif Bentor dan Angkot
Antara Kampus FKIP Unkhair Ternate, Mahasiswa dan Pamflet Penolakan Efisiensi Anggaran Pendidikan
Cerita Pekerja dari Dalam Tumpukan Limbah Tambang IWIP
Meneguhkan Perjuangan Kesejahteraan dan Hak Pekerja di Maluku Utara
Matinya Eko Bertambah Lembaran Buku Kematian Kelas Pekerja di Morowali
Aktivis Lingkungan Soroti Sampah Menumpuk di Lingkar Tambang PT. IWIP
Berita ini 125 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 20 Maret 2025 - 22:51 WIT

Menatap Masa Depan dengan AI : Panduan Inspiratif dari Mhd Arjunanta

Rabu, 19 Maret 2025 - 23:21 WIT

Dari Radikal ke Jalan Benar, Ini Kisah Pria Asal Surabaya yang Pernah Bergelut dengan Kaum Kiri di Timur Tengah

Sabtu, 15 Maret 2025 - 18:07 WIT

Kerusakan Jalan Bobong di Taliabu Makin Parah, Kerek Kenaikan Tarif Bentor dan Angkot

Rabu, 26 Februari 2025 - 21:55 WIT

Antara Kampus FKIP Unkhair Ternate, Mahasiswa dan Pamflet Penolakan Efisiensi Anggaran Pendidikan

Minggu, 23 Februari 2025 - 10:19 WIT

Cerita Orang-orang Halmahera dan Tanahnya dari Pohon Kehidupan yang Tumbang

Berita Terbaru

Praktisi Hukum, Sarwin Hi. Hakim

Headline

Kasus Kredit Macet BPRS Halmahera Selatan Bakal Digiring ke KPK

Minggu, 23 Mar 2025 - 00:31 WIT

error: Konten diproteksi !!