Oleh : Asmar Hi. Daud
(Akademisi Unkhair Ternate)
Di perairan Ternate dan Tidore, para nelayan Fonai—penangkap ikan dengan metode Pole and Line, masih setia mengarungi laut. Mereka bukan hanya mencari nafkah, tapi menjaga warisan budaya dan ekologis yang lestari. Dalam sepi subuh dan gelombang laut yang dingin, pancing satu-satu mereka ayunkan dengan harapan agar laut tetap memberi dan negara turut melindungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun harapan itu retak ketika negara justru datang bukan dengan perlindungan, melainkan dengan beban baru: kenaikan Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menggandakan kewajiban nelayan atas hasil tangkap mereka.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja? untuk nelayan kecil yang menjaga laut, atau untuk kas negara yang tak mengenal empati ekologis dan keadilan sosial?
Fonai Bukan Korporasi
Fonai, dalam konteks lokal di Maluku Utara, bukan sekadar istilah teknis tetapi adalah identitas sosial-ekologis. Para nelayan ini menggunakan metode pole and line, yang sangat selektif, tidak merusak terumbu karang, dan minim bycatch. Kapal mereka memang besar, sering di atas 30 GT, tetapi bukan karena mereka pengusaha besar. Kapal besar dibutuhkan karena mereka harus menjangkau daerah tangkap yang jauh di laut lepas. Armada ini dikelola oleh keluarga atau koperasi, bukan korporasi.
Namun negara memilih untuk mengabaikan karakter komunitas dan alat tangkap yang lestari, dan justru menyamaratakan beban fiskal kepada semua kapal besar, seolah semua pelaku usaha perikanan adalah industri skala besar.
Legal Tapi Tidak Adil
PNBP pascaproduksi yang diberlakukan berdasarkan UU No. 9 Tahun 2018, PP No. 85 Tahun 2021, dan Permen KP No. 33 Tahun 2021, memang sah secara hukum. Tapi pertanyaannya bukan soal legalitas melainkan apakah kebijakan ini adil?
Kenaikan PNBP dari Rp 239.000 menjadi Rp 500.000 per volume tangkapan tidak mempertimbangkan fluktuasi harga ikan, musim paceklik, atau biaya operasional seperti BBM industri yang nyaris dua kali lipat dari solar subsidi. Bahkan ketika trip kosong tanpa hasil tangkapan, beban tetap menghantui. Tidak ada subsidi, tidak ada perlindungan.
Padahal, UU No. 7 Tahun 2016 dengan tegas mewajibkan negara untuk melindungi dan memberdayakan nelayan kecil. Fonai memenuhi syarat sebagai nelayan kecil berdasarkan pendekatan komunitas, alat tangkap ramah lingkungan, dan keterbatasan modal. Tapi di atas kertas regulasi fiskal, mereka tetap diposisikan sebagai entitas industri.
Ketidakpastian Ekologi
Fonai sangat bergantung pada spesies schooling fish seperti cakalang dan tongkol. Tapi perubahan iklim, reklamasi pantai, dan aktivitas tambang telah mengubah ekosistem laut secara drastis. Sekali musim meleset, pulang kosong adalah keniscayaan. Dalam keadaan seperti ini, PNBP justru menjadi beban tambahan, bukan kontribusi. Negara memungut dari nelayan yang sudah tak punya apa-apa untuk diberikan.
Alih-alih membangun kebijakan fiskal adaptif terhadap risiko ekologis, negara bersikukuh menerapkan tarif baku tanpa belas kasihan.
Ketimpangan Pasar
Kita menyaksikan ketimpangan yang bukan hanya terjadi di pasar, tapi juga dilanggengkan oleh kebijakan negara itu sendiri. Nelayan fonai tak punya kekuatan menentukan harga jual ikan karena pasar dikuasai pedagang besar. Dalam posisi tawar yang rendah, mereka tetap harus membayar pungutan seolah mereka aktor dominan dalam rantai pasok.
Ketika negara mengenakan pungutan berdasarkan asumsi keuntungan, padahal harga bukan mereka yang tentukan, dan risiko bukan negara yang tanggung, maka yang terjadi bukan kontribusi fiskal, tapi pemerasan legal terhadap yang paling rentan.
Keadilan Fiskal
Keadilan fiskal bukanlah soal membebankan pungutan secara merata, melainkan soal membedakannya secara adil berdasarkan kemampuan, karakter usaha, dan dampak ekologis dari pelaku perikanan.
Nelayan fonai yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dan berbasis komunitas jelas tidak dapat disamakan dengan korporasi besar. Oleh karena itu, kebijakan fiskal seharusnya peka terhadap konteks sosial dan ekologis, bukan sekadar berorientasi pada angka pendapatan negara.
Langkah konkret yang perlu segera diambil mencakup peninjauan ulang skema PNBP agar mempertimbangkan jenis alat tangkap dan skala usaha; pemberian tarif khusus atau insentif bagi nelayan yang menerapkan metode lestari seperti pole and line; penyediaan subsidi BBM serta insentif atas risiko trip kosong; serta pelibatan aktif nelayan dan DPRD dalam setiap proses penyusunan kebijakan pungutan.
Hanya dengan pendekatan seperti inilah negara benar-benar menunjukkan keberpihakan terhadap keberlanjutan dan keadilan sosial.
Negara boleh memungut. Tapi pemungutan itu harus berdasarkan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi. Fonai bukan sekadar nelayan; mereka adalah garda terdepan perikanan berkelanjutan.
Jika negara tak bisa membedakan mereka dari korporasi, maka yang gagal bukan hanya fiskalnya, tapi juga etos keberpihakan sosial dan ekologis kita sebagai bangsa kepulauan. ***