Oleh : Mukhtar Abdullah Adam
(Ketua ISNU Maluku Utara)
Novel Ghost Fleet karya P.W. Singer dan August Cole menggambarkan dengan cerdas skenario perang masa depan yang terjadi dalam situasi damai. Lewat fiksi yang kaya akan riset intelijen, novel ini menjelajahi imajinasi yang menembus batas realitas, menjadikan fenomena global sebagai alat analisis prediktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karya itu pula yang turut menginspirasi pidato Prabowo Subianto pada 2018 di hadapan kader Partai Gerindra, saat ia memperingatkan bahwa “Indonesia bisa bubar pada 2030”. Pidato tersebut sempat menuai kontroversi dan menjadi bahan lelucon hingga sindiran dari lawan politiknya.
Namun, tak ada generasi yang ingin melihat Nusantara porak-poranda. Saat semangat patriotisme masih hidup, lagu kebangsaan masih bergema, dan wajah para pahlawan masih menghiasi ruang publik, ancaman justru muncul dari ketimpangan yang nyata. Ketika 1 persen penduduk menguasai mayoritas aset nasional, disparitas sosial meluas, dan kemiskinan struktural menguat, potensi perpecahan menjadi semakin besar. Jika tidak dikelola dengan bijak, ketidakadilan ini bisa menjadi bahan bakar konflik sosial.
Prabowo Subianto kembali mengingatkan dalam debat capres 2024: “Kita harus bersiap menghadapi dunia yang tidak menentu. Ancaman perang bukan isapan jempol, karena sejarah membuktikan bahwa krisis ekonomi global seringkali menjadi pemicu konflik militer.” Ini bukan retorika kosong, melainkan refleksi dari tren geopolitik global yang sedang berlangsung.
Belanja Militer Global Meningkat Tajam
Data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI, 2024) mencatat bahwa belanja militer dunia mencapai rekor tertinggi, yaitu US$2,44 triliun, naik 6,8 persen dari tahun sebelumnya, dan menjadi kenaikan tertinggi sejak 2009. Lonjakan ini terutama terjadi di kawasan Asia dan Eropa Timur.
NATO, sebagai aliansi pertahanan terbesar dunia, telah menyatakan komitmennya untuk menaikkan anggaran pertahanan hingga 5 persem dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025. Negara-negara seperti Polandia, Jerman, Jepang, dan Australia menjadi yang terdepan dalam peningkatan belanja militer. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menegaskan pentingnya membentuk European Defence Union yang tangguh dan otonom untuk menghadapi dunia yang semakin keras.
Dalam laporan NATO (2024), 23 dari 32 negara anggota telah memenuhi target minimal 2 persen PDB untuk pertahanan, bahkan beberapa seperti Polandia dan Estonia telah melampaui 4 persen. Fokus pengeluaran mencakup modernisasi sistem persenjataan, pengembangan kecerdasan buatan militer, pertahanan luar angkasa, hingga peningkatan kapasitas siber.
Asia: Episentrum Baru Perlombaan Senjata
Di kawasan Indo-Pasifik, dinamika serupa juga terjadi. Cina, sebagai kekuatan militer terbesar kedua setelah AS, mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar US$296 miliar pada 2024, naik 7,2 persen dari tahun sebelumnya. Fokusnya mencakup dominasi maritim di Laut Cina Selatan, ekspansi satelit militer, dan integrasi drone ke dalam doktrin militer.
India pun tak tinggal diam. Dengan anggaran militer sebesar US$83,6 miliar (naik 4,6 persen), India memprioritaskan modernisasi armada laut dan pertahanan perbatasan. Jepang yang selama ini dikenal dengan postur defensif, mengubah pendekatannya secara signifikan. Pada 2024, Jepang menaikkan belanja militernya sebesar 16 persen, tertinggi sejak Perang Dunia II. Negeri Sakura itu kini mengembangkan rudal jarak jauh dan sistem pertahanan balistik untuk merespons ancaman dari Korea Utara dan Cina.
“Asia saat ini menjadi episentrum baru dari perlombaan senjata konvensional dan non-konvensional,” ujar Michael Beckley, analis strategi keamanan dari Tufts University (2024).
Dunia bergerak ke arah yang semakin tidak pasti. Dalam kondisi demikian, kesiapsiagaan nasional bukan hanya tentang senjata, tetapi juga soal ketahanan sosial, keadilan ekonomi, dan arah kepemimpinan strategis. Peringatan Prabowo Subianto yang dulu dianggap kontroversial, kini terasa semakin relevan, karena dalam dunia yang terus berubah, yang paling rentan bukanlah yang lemah, melainkan yang tidak siap. ***