Oleh : Mukhtar Adam
Kebijakan Pemerintah Pusat memangkas Dana Transfer ke Daerah (TKDD) dalam rancangan RAPBN 2026 telah memicu gelombang keberatan sejumlah kepala daerah. Beberapa gubernur bahkan menginisiasi pertemuan dengan Menteri Keuangan Purbaya untuk menyampaikan argumentasi bahwa kapasitas fiskal daerah akan menurun, pembangunan akan tersendat, dan pelayanan publik berpotensi terganggu. Namun, benarkah demikian? Ataukah sebaiknya kita lebih fokus pada bagaimana daerah menyusun RAPBD 2026 secara efisien?
Jika kita menyelami lebih jauh dalam merumuskan kebijakan fiskal daerah, permasalahan utama tidak terletak pada jumlah dana transfer yang diterima, melainkan pada kualitas belanja daerah itu sendiri. Berapapun dana yang ditransfer dari pusat, jika pola penggunaannya tidak produktif, maka dampak ekonominya akan tetap lemah dan tidak berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memperhatikan Nota Keuangan dan RAPBD yang dikemukakan, terlihat jelas bahwa indikator capaian dalam Nota Keuangan dan RKPD tidak selalu konsisten dengan indikator yang ada dalam Rencana Kerja Anggaran. Hal ini menyebabkan kajian teknokratis menjadi tidak koheren. Di sisi lain, penetapan Pagu Anggaran berdasarkan Standar Harga dan Standar Belanja cenderung tidak efisien, dan malah menambah beban inflasi, meskipun pemerintah berupaya mengendalikan inflasi.
Akibatnya, belanja menjadi tidak efisien, dengan anggaran belanja yang cenderung boros. Alokasi anggaran sering kali hanya terfokus pada satu kegiatan, karena standar harga yang ditetapkan di atas ekspektasi inflasi. Kondisi ini menggambarkan bahwa otonomi daerah, yang diharapkan menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat, justru berpotensi meningkatkan kemandirian daerah.
Salah satu masalah utama adalah bahwa belanja daerah lebih banyak diarahkan untuk menyediakan kebutuhan administrasi dan operasional dibandingkan untuk infrastruktur dan pelayanan publik. Hal ini terlihat dari protes yang muncul dari anggota DPRD Provinsi, seperti kasus jalan di Taliabu, Maluku Utara, atau protes Ketua DPRD Bengkulu terhadap minimnya alokasi infrastruktur di APBD 2026.
Fenomena DPRD baru dan pemerintahan baru juga menunjukkan pola yang serupa dalam penyusunan RAPBD 2026. Banyak program yang disusun tanpa baseline atau target terukur, sehingga APBD kehilangan fokus hasil dan hanya menjadi daftar aktivitas tahunan. Akibatnya, situasi ini mencerminkan lemahnya inovasi dan kompetensi kepala daerah dalam mendorong pembangunan yang inklusif.
Dalam konteks keuangan publik, seharusnya transfer fiskal berfungsi sebagai mekanisme pemerataan antar wilayah, bukan sebagai subsidi abadi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) tidak diikuti oleh peningkatan kualitas belanja masyarakat. Hal ini berpotensi memperkuat kemandirian fiskal, di banyak daerah masih memiliki rasio belanja aparatur di atas 50 persen dari total APBD, menyisakan sedikit ruang untuk pelayanan publik.
Untuk itu, langkah bijak yang perlu dilakukan pemerintah pusat adalah memperkuat Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK dapat menjadi kanal fiskal yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan tertentu dan ditujukan langsung oleh pemerintah pusat serta kementerian teknis. Dengan DAK, pemerintah dapat mengendalikan efektivitas belanja daerah dan memastikan dana dialokasikan sesuai dengan kebutuhan riil daerah.
Meneruskan fokus pada DAK tematik, seperti DAK Ketahanan Pangan dan Pertanian Terpadu, DAK Pemberdayaan Petani dan UMKM, serta DAK Ekonomi Inklusif dan Digitalisasi Desa, dapat memastikan bahwa tambahan dana transfer benar-benar mengalir ke sektor produktif dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen yang menjadi target pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Secara keseluruhan, tantangan dalam penyusunan RAPBD 2026 hendaknya menjadi momentum bagi semua pihak untuk meredefinisi cara mengelola dan memanfaatkan dana transfer demi kepentingan pembangunan yang lebih substansial dan berkelanjutan di daerah. ***