Oleh : Asmar Hi. Daud
(Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unkhair, Ternate)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah Provinsi Maluku Utara di bawah kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda mengalokasikan anggaran sebesar Rp 58,98 miliar untuk sektor kelautan dan perikanan tahun ini. Di atas kertas, ini adalah angka yang besar. Namun seperti kata banyak nelayan, “besar di angka belum tentu besar di hasil.” Tanpa arah kebijakan yang jelas, sistem yang rapi, dan strategi yang fokus, angka itu bisa hilang seperti ombak yang datang dan pergi tanpa jejak di pantai.
Anggaran Lama, Pola Lama
Maluku Utara memiliki 10 kabupaten/kota, sebagian besar dengan karakteristik pesisir dan kepulauan yang kaya potensi. Selama bertahun-tahun, sektor perikanan telah menerima berbagai sumber anggaran: DAK Fisik Provinsi: Rp 20–30 miliar per tahun, DAK Fisik Kabupaten/Kota: Rp 3–5 miliar per daerah per tahun, tugas Pembantuan dan Dekonsentrasi KKP: Rp 10–15 miliar per tahun, dan tambahan dari DAU dan DBH, sebagian untuk pemberdayaan pesisir.
Total akumulasi anggaran bisa menyentuh Rp 80–100 miliar per tahun. Namun, wajah kemiskinan nelayan tidak banyak berubah. Ini bukan sekadar soal dana, tapi arah. Bukan soal angka, tapi strategi.
Desa Nelayan dan Budidaya : Titik Tolak
Tahun ini mestinya jadi tahun tonggak. Bukan lagi menyebar bantuan secara merata ke ratusan kelompok, tapi memfokuskan pembangunan pada 5–10 desa nelayan dan budidaya model yang dibangun tuntas dan menyeluruh.
Dari kapal kecil, alat tangkap ramah lingkungan, cold storage mini, koperasi nelayan digital, hingga sistem pemasaran dan logistik — desa-desa ini harus jadi contoh hidup bagaimana kebijakan bekerja untuk rakyat.
Untuk budidaya, udang vaname berbasis bioflok sangat potensial, terutama di wilayah pesisir seperti Halut, Haltim, Halbar, dan Halsel. Sementara bioflok ikan nila dan lele tetap strategis untuk desa-desa dataran dan pedalaman.
Dengan pendekatan ini, Pemprov akan punya ruang eksperimen kebijakan nyata, dan publik akan punya bukti bahwa pembangunan bisa berdampak jika dilakukan secara fokus dan akuntabel. Karena anggaran sebesar apa pun akan habis percuma jika tersebar tanpa arah.
Kita memerlukan strategi yang lebih tajam dan fokus pada tahun 2024-2025. Pertama, revitalisasi armada tangkap kecil berbasis data dan potensi desa nelayan, kedua budidaya unggulan berbasis lokalitas, khususnya udang vaname dan rumput laut. Ketiga, penguatan rantai dingin di desa, seperti ice flake dan penyimpanan ikan mini, keempat kelembagaan koperasi dan digitalisasi, agar keberlanjutan tidak berhenti di distribusi, dan kelima kolaborasi tambang dan perikanan lewat skema CSR untuk membangun pesisir tangguh.
Apa yang Dilupakan Gubernur?
Terlepas dari jumlahnya, sayangnya kebijakan perikanan Pemprov Maluku Utara belum menyentuh beberapa aspek strategis, yakni belum ada grand design ekonomi biru Malut yang mengintegrasikan perikanan, pariwisata bahari, konservasi, dan transportasi laut.
Hilirisasi belum menjadi fokus. Ikan masih dijual mentah, tanpa pengolahan, tanpa nilai tambah. Belum ada integrasi tambang-lingkungan-perikanan, padahal tekanan ekologis di pesisir sangat tinggi. Kelembagaan perikanan masih lemah dan tidak direformasi, serta sistem data dan monitoring masih absen.
Tanpa peta jalan dan sistem pengelolaan berbasis data, kebijakan hanya akan menjadi ritual anggaran tahunan, tanpa transformasi hanya akan bersifat spekulatif.
Jejak Terukur
Anggaran Rp 58,98 miliar bisa jadi batu loncatan atau justru batu sandungan, tergantung bagaimana Gubernur Sherly mengelolanya. Jika difokuskan ke proyek nyata dan desa-desa percontohan, kita akan punya model yang bisa direplikasi. Tapi jika disebar tanpa arah, akan jadi pola lama yang berulang.
Laut kita terlalu kaya untuk membuat rakyat pesisir terus miskin. Saat ini masyarakat pesisir-nelayan menunggu. Bukan hanya kucuran dana, tapi jejak yang terukur. Jejak yang bisa dilihat, ditiru, dan diwariskan sebagai bukti bahwa kebijakan bisa bekerja untuk rakyat kecil di bibir pantai dan di tepi laut. ***