Oleh: KH. Achmad Dardiri, M.Ag
(Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Ternate)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kehidupan modern dan global saat ini, umat Islam semakin sulit untuk tidak bersentuhan dengan dunia perbankan baik konvensional maupun Syari’ah. Pentingnya bagi umat muslim untuk menjaga hartanya dari praktek ribawi, agar harta yang Allah titipkan kepada kita mengandung kehalalan dan keberkahan dalam hidup. Maka upaya memahami dan mengkaji tentang riba dan Bunga Bank menjadi sangat penting dan urgen.
Pengertian Riba
Riba secara bahasa berarti tumbuh dan tambah. Sedangkan secara istilah, Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengartikannya sebagai “bertambahnya salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan ini”. Misalnya, menukarkan 10 kilogram beras ketan dengan 12 kilogram beras ketan, atau si A bersedia meminjamkan uang sebesar Rp300 ribu kepada si B, asalkan si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp325 ribu.
Para ulama, baik ulama salaf (mazhab empat) maupun ulama kontemporer, semua sepakat akan keharaman riba. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank, juga mengharamkan riba. (Lihat: Al-Mabsut juz 14 halaman 36, Al-Syarh al-Kabir juz 3 halaman 226, Nihayatul Muhtaj juz 4 halaman 230, Al-Mughni juz 4 halaman 240, Al-Tafsir al-Wasit juz 1 halaman 513). Dengan demikian dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum keharaman riba, melainkan soal hukum bunga bank. Ulama yang mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga bank termasuk riba, sedangkan ulama yang membolehkannya meyakini bahwa ia tidak termasuk riba.
Dalam kegiatan bank konvensional, terdapat dua macam bunga: Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan oleh bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak bank, bunga simpanan merupakan harga beli. Kedua, bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibebankan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan harga jual. Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba atau keuntungan yang diterima oleh pihak bank.
Ragam Pendapat Ulama’ Kontemporer
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum bunga bank:
Pertama, sebagian ulama, seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya haram, karena termasuk riba. Pendapat ini juga merupakan pendapat forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Adapun dalil diharamkannya riba diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, nomor 2994).
Kedua, sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti Syekh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M. Mereka berpegangan pada firman Allah SWT Surat an-Nisa’ ayat 29:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, menggasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank, dibenarkan dalam Islam. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut.
Pada Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992, terdapat tiga pendapat tentang hukum bunga bank: Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram. Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh. Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam. Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan masalah khilafiyah. Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba. Tetapi mereka semua sepakat bahwa riba hukumnya haram. Terhadap masalah khilafiyah seperti ini, prinsip saling toleransi dan saling menghormati harus dikedepankan. Sebab, masing-masing kelompok ulama telah mencurahkan tenaga dalam berijtihad menemukan hukum masalah tersebut, dan pada akhirnya pendapat mereka tetap berbeda. Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan kemantapan hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh maka ia bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya.
Rasulullah SAW bersabda:
البِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتُوْكَ
“Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan”. (HR. Ahmad)
Jenis-Jenis Riba Secara Umum
Bentuk riba yang sering kita jumpai, terutama di dunia perbankkan adalah :
1. Riba Fadl (Riba dalam Pertukaran): Riba fadl terjadi ketika terdapat tambahan dalam pertukaran barang yang sejenis dengan kualitas yang sama, namun dengan jumlah yang berbeda. Contohnya, menukar emas 10 gram dengan emas 12 gram. Dalam Islam, pertukaran barang sejenis harus dilakukan dalam jumlah yang sama tanpa ada kelebihan.
2. Riba Nasi’ah (Riba dalam Penangguhan Waktu): Riba nasi’ah terjadi ketika terdapat tambahan atas utang karena penundaan pembayaran. Ini adalah jenis riba yang paling umum dan sering diidentikkan dengan bunga pinjaman. Misalnya, seseorang meminjam uang 100 juta rupiah dan harus mengembalikan 120 juta rupiah karena adanya penundaan waktu pembayaran.
Solusi Menghindari Riba
Menghindari riba merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang ingin menjalankan kehidupannya sesuai dengan syariat Islam. Beberapa hal untuk menghindari dari praktek ribawi adalah:
1. Menggunakan Jasa Keuangan Syariah: Pilihlah bank atau lembaga keuangan syariah yang menyediakan produk dan layanan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Bank syariah tidak menerapkan bunga (riba), melainkan menggunakan sistem bagi hasil (mudharabah), jual beli (murabahah), atau sewa-menyewa (ijarah).
2. Hindari Pinjaman dengan Bunga: Usahakan untuk tidak mengambil pinjaman dari lembaga keuangan konvensional yang mengenakan bunga. Jika memerlukan pinjaman, carilah solusi seperti pinjaman dari keluarga atau teman dengan perjanjian tanpa bunga.
3. Menerapkan Prinsip Jual Beli yang Halal: Dalam menjalankan bisnis atau perdagangan, pastikan semua transaksi dilakukan dengan cara yang adil dan sesuai dengan syariah, seperti menggunakan konsep jual beli yang jelas, sewa-menyewa, atau kerjasama bagi hasil.
4. Mendidik Diri Tentang Keuangan Syariah: Pemahaman yang baik tentang keuangan syariah dan prinsip-prinsip dasar Islam terkait muamalah (transaksi) akan membantu dalam menghindari riba. Banyak literatur dan pelatihan yang dapat diikuti untuk memperdalam pemahaman ini.
5. Bersikap Bijak dalam Mengelola Keuangan: Selalu bersikap bijak dalam mengelola keuangan dan menghindari gaya hidup konsumtif yang memaksa seseorang untuk berhutang dengan bunga. Rencanakan keuangan dengan matang dan jangan tergoda untuk mengambil pinjaman yang tidak perlu.
Hikmah Diharamkannya Riba
Islam melarang riba karena berbagai alasan yang terkait dengan keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan moralitas. Beberapa hikmah diharamkannya riba antara lain:
1. Menciptakan Keadilan Ekonomi: Riba menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, di mana pihak yang memberikan pinjaman mendapat keuntungan tanpa risiko, sedangkan pihak yang berhutang menanggung beban berat. Dengan menghindari riba, Islam mendorong keadilan ekonomi dan keseimbangan dalam masyarakat.
2. Mencegah Eksploitasi dan Ketidakadilan: Praktik riba sering kali menyebabkan eksploitasi terhadap pihak yang lemah, terutama yang membutuhkan dana atau modal. Larangan riba melindungi masyarakat dari praktik-praktik eksploitatif.
3. Mengajarkan Sikap Saling Tolong-Menolong: Islam mendorong umatnya untuk saling membantu dan mendukung satu sama lain tanpa mencari keuntungan pribadi yang berlebihan. Dalam hal keuangan, ini bisa diwujudkan melalui konsep-konsep seperti infaq, sedekah, dan wakaf.
4. Menjaga Stabilitas Ekonomi: Riba dianggap sebagai faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Sistem ekonomi yang berbasis riba cenderung menghasilkan inflasi, resesi, dan krisis ekonomi. Dengan melarang riba, Islam mendorong sistem ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.
5. Membangun Kesadaran Spiritual: Larangan riba adalah salah satu bentuk ujian bagi umat Islam untuk menunjukkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Menghindari riba merupakan bentuk ibadah dan bukti ketaatan terhadap perintah Allah.