Ternate, Maluku Utara- Kawasan di seputaran sepanjang pantai dari Pelabuhan Semut Kelurahan Mangga Dua hingga kelurahan Toboko Kota Ternate diperuntukkan sebagai zona hijau.
Meski begitu, puluhan lapak berjejeran tempati area tersebut yang sesungguhnya tidak diperuntukkan untuk aktifitas perdagangan.
Tak hanya itu, hasil penelusuran Haliyora.id, menemukan pemilik lapak di area yang dilarang berjualan itu mengaku ditagih retribusi tempat dan sampah setiap hari. “Setiap hari torang ditagih Rp 12.000 oleh petugas, Rp 10.000 untuk tempat dan Rp 2.000 untuk sampah,” ungkap Agung, salah satu pedagang di area tersebut kepada Haliyora.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Praktisi hukum dan Omdusman Malut pun angkat bicara terhadap penagihan di kawasan itu. Pasalnya, areal tersebut tidak diperuntukkan sebagai kawasan perdagangan, bahkan papan informasi yang dipajang Pemkot Ternate pun jelas tertulis “Dilarang Berdagang di Area itu”.
Menurut mereka, penagihan di area terlarang bisa dipidana karena masuk kategori pungli. “Kalaupun kawasan itu dilarang, maka satu pun tidak bisa lakukan pungutan, paling tidak Pemkot harus mencari tempat atau lahan agar mereka juga bisa dipindahkan dan berusaha di tempat tersebut, apalagi dalam kondisi pandemi seperti ini,” ujar praktisi hukum, Muhammad Konoras kepada haliyora saat dimintai tanggapannya, Senin (6/9).
Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Kota Ternate, Jufri Ali, saat dikonfirmasi haliyora, mengatakan bahwa penagihan tersebut sudah sesuai dengan regulasi. Karena itu adalah pajak restoran sesuai objek pajak yang dikenakan.
“Penagihan pajak setoran yang dilakukan oleh kami legal bukan ilegal, jadi bukan pungli, ini pajak bukan retribusi, secara keseluruhan kami berdasarkan pada aturan,” ujarnya ketika disambangi haliyora di ruang kerjanya, Kamis, (09/09/21).
Jufri menerangkan, di dalam pajak tersebut tertulis pajak restoran. Pajak restoran yang selanjutnya disebut pajak adalah, pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran, restoran adalah fasilitas penyediaan makanan dan atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, cafe, kantin, dan warung makan, dan mereka PKL dikategori warung makan, terang Jufri.
“Di dalam regulasi juga mengatur bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi 3 juta per bulan, untuk PKL di tempat tersebut penghasilannya di atas 3 juta per bulan, maka wajib dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan,” jelasnya.
Jufri meluruskan bahwa penagihan yang dilakukan di area tersebut bukanlah tempat, melainkan pajak restoran. Dimana penagihan dilakukan sesuai dengan data dan jumlah omzet yang layak dikenakan pajak.
“Soal tempat itu instansi yang lain, di situ ada objek, objeknya apa?, ya pedagang yang berjualan, dan juga ada pelayanan yang dilakukan oleh warung makan, maka wajib dikenakan pajak,” jelas Jufri.
Jufri menambahkan, jika ada larangan berjualan di area itu dari pemerintah kota, itu persoalan lain. Soal izin dan tempat, sambung Jufri, itu di instansi lain, itu urusannya di bagian retribusi.
“Jadi jangan terpakau di situ, kalau izin nanti berkoordinasi di perizinan, kami hanya melihat objek restorannya dan sesuai ketentuan omzetnya melebihi, maka tetap dikenakan pajak,” tandasnya
“Masa kami menagih pajak setoran restoran dibilang kami menagih retribusi tempat, yang pada dasarnya tempat itu dilarang, itu sama saja kita bodohi, tapi lagi-lagi kami hanya melihat objeknya, lagian setoran pajak tersebut juga masuk langsung ke kas daerah, tidak ada yang namanya pungli yang dilakukan oleh kami,” tegas Jufri Menutup. (Ecal-*)