Ternate, Maluku Utara – Di sudut kota yang makin padat tapi terasa asing, sekumpulan pemuda yang tetap setia dengan tongkrongannya. Tempat ini, kata orang, selalu menjadi halaman perang dikala mereka memperdebatkan sesuatu hal.
Dengan celana jeans ketat, seorang pemuda menggunakan kacamata hitam membuka pembicaraan, “Jalanan kota Ternate hari ini di penuhi dengan buah durian,” lelaki di sebelahnya memperhatikan ia berbicara.
Di tengah-tengah aktivitas kota, terik matahari tak bisa diajak kompromi, ibarat Menjilat Matahari, begitu judul salah satu Godblees. “Dengan pembahasan durian, saya pikir ini akan menjadi perdebatan panas di bulan Ramadhan,” pikirku dalam hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sedari tadi lelaki yang mendengarkan pria berkacamata itam yang berbicara itu nampaknya telah bersiap siap untuk menanggapi. Keduanya saling mempertahankan argumen sambil meyakinkan beberapa orang di tongkrongan itu.
Pria yang tak banyak bicara itu namanya Endi. Dia kini mulai berbicara seolah salah seorang pejabat di atas podium yang meyakinkan semua orang. “Selain dari durian yang asalnya dari Ternate, juga ada durian yang diambil dari Jailolo untuk di jual di Ternate,” kata endi menjelaskan.
Dari asal dua durian ini, pria berkacamata itam ini bertanya kepada semua orang yang berada di tongkrongan itu, “Mana yang lebih enak.? Dari pertanyaan tersebut, tongkrongan yang semula tadi asing, kini perlahan berubah menjadi halaman perang. Tak ada yang bisa mendamaikan. Semua yang ada di tempat tongkrongan tua itu satu persatu sudah mulai berdebat. Terkecuali seorang pria bertubuh besar yang memilih untuk pergi daripada berdebat yang hanya memengaruhi puasanya.
Penulis : Risal Sadoki
Editor : A. Achmad Yono
Halaman : 1 2 Selanjutnya