Terjadi Disproporsional
Selain argumentasi di atas, Saldi melanjutkan ambang batas parlemen jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Artinya, bilamana diletakkan dalam basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu menjadi proporsional.
Untuk itu, dalam sistem pemilu proporsional semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi memaparkan dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas dimaksud, misalnya, pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional. Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7 persen suara sah secara nasional. Meski pada Pemilu 2014 “hanya” terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2,4 persen dari suara sah secara nasional, namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019, yaitu 10 partai politik.
Saldi menambahkan bentangan empirik tersebut menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR.
Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif.
“Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen,” ucap Saldi.
Menurut Mahkamah, sambung Saldi, penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai, secara nyata telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu karena tidak proporsionalnya jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional. Padahal, sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVII/2009, kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan ambang batas parlemen termasuk besaran atau persentase dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
“Namun secara faktual prinsip-prinsip tersebut telah tercederai karena berakibat banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR, sehingga menciptakan disproporsionalitas sistem pemilu proporsional yang dianut. Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah menciderai makna kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah,” jelas Saldi.
Kebijakan Pembentuk Undang-Undang
Kemudian, Saldi menjelaskan Mahkamah tetap pada pendirian bahwa ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang sepanjang penentuan tersebut menggunakan dasar metode dan argumentasi yang memadai. Sehingga mampu meminimalisir disproporsionalitas antara suara sah dengan penentuan jumlah kursi di DPR, sekaligus memperkuat penyederhanaan partai politik. Artinya, ide penyederhanaan partai politik di DPR tidak boleh berbenturan dengan keharusan menjaga prinsip proporsionalitas hasil pemilihan dengan penentuan jumlah kursi di DPR.
Berkenaan dengan hal di atas, Mahkamah berpendapat berkenaan dengan ambang batas parlemen sebagaimana ditentukan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu perlu segera dilakukan perubahan dengan memerhatikan secara sungguh-sungguh beberapa hal. Yaitu, (1) didesain untuk digunakan secara berkelanjutan; (2) perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR; (3) perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik; (4) perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029; dan (5) perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
Selanjutnya, Saldi menyampaikan dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 sepanjang berkaitan dengan tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai dapat dibuktikan. Namun, terhadap petitum Pemohon yang menghendaki adanya pemaknaan terhadap norma a quo menjadi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara anggota DPR dengan ketentuan besaran sebagai berikut: a. bilangan 75 persen dibagi dengan rata-rata daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah 127 daerah pemilihan; dan b. dalam hal hasil bagi besaran ambang batas parlemen sebagaimana dimaksud, huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan”, adalah petitum yang tidak dapat dikabulkan oleh Mahkamah. Hal tersebut karena merupakan bagian dari kebijakan pembentuk undang-undang untuk dirumuskan lebih lanjut perihal ambang batas parlemen termasuk penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen. “Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Saldi.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya