Menurut Munaldi, negara (pemerintah) secara sengaja melakukan pembiaran terhadap masyarakat yang hidup di wilayah lingkaran tambang. Demikian juga dengan perusahaan. Padahal ini menjadi kewajiban untuk pengendalian lingkungan hidup.
“Kualitas udara dan sedimentasi yang terjadi akibat kegiatan pertambangan itu harus benar-benar tidak sekedar normatif ada Amdal, ada UKL, UPL, lalu soal-soal yang terjadi ini dianggap selesai karena ada kelengkapan dokumen persyaratan perizinan maupun lingkungan. Kemudian dampak yang timbul itu dianggap bukan lagi menjadi tanggung jawab, semestinya diukur dari problem itu bahwa ketika ada masyarakat yang menjadi korban dari kegiatan industri, maka ada kegagalan yang dilakukan secara sengaja oleh negara maupun industri yang ad tersebut,” tutupnya.
Sebagai informasi, Dinkes Halmahera Tengah melaporkan lonjakan kasus ISPA di daerah itu. Lonjakan kasus ISPA terbesar di kawasan Lelilef dengan angka 1.883 kasus di tahun ini, naik dari tahun 2023 sebanyak 1.773 kasus. Diurutan kedua untuk kawasan Kobe dengan jumlah kasus sebanyak 267, naik dari tahun 2023 sebanyak 70 kasus, sementara diurutan ketiga ada Sagea 87 kasus, menurun dibanding tahun 2023 yaitu 1.501 kasus. Meski demikian, secara keseluruhan umumnya di Halmahera Tengah terjadi kenaikan kasus ISPA. (RJ/Red1)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT