Maluku Utara, Haliyora.id – Tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW bermula dari era Dinasti Ayyubiyah. Inisiatornya adalah sang pendiri daulah itu di Mesir, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1137-1193). Ia bertujuan meningkatkan perasaan cinta kolektif umat Islam kepada Rasulullah SAW. Pada akhirnya, kecintaan itu dapat memperkuat rasa persaudaraan (ukhuwah) di antara sesama Muslimin.
Peringatan Maulid Nabi untuk pertama kalinya digelar pada 580 H atau 1184 M. Saat itu, Shalahuddin mengimbau para penyair negerinya untuk menggubah syair puji-pujian bagi Nabi SAW seindah mungkin. Bahkan, raja Muslim ini mengadakan sayembara untuk itu.
Namun, ada pula pendapat yang menyebut, Shalahuddin “hanya” meneruskan tradisi yang sudah ada. AM Waskito dalam Pro dan Kontra Maulid Nabi SAW (2014) menukil pendapat sejarawan Prof Ali Muhammad ash-Shallabi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sultan Shalahuddin pada mulanya hendak meminimalkan sisa-sisa pengaruh Dinasti Fathimiyah yang berhaluan Syiah Ismailiyah-Rafidhah, yakni penguasa Mesir sebelumnya.
Raja yang disebut Saladin oleh orang-orang Eropa itu tidak mau menjadi anggota pengaruh Syiah itu hingga ke “akar”, sebagaimana terjadi di Tunisia pada masanya. Oleh karena itu, ia memilih cara-cara kultural.
Misalnya, Universitas al-Azhar yang dibangun Fathimiyah di Kairo tidak dirobohkannya. Namun fungsinya diubah yakni tidak lagi sebagai tempat kaderisasi Syiah, melainkan pusat keilmuan Islam Sunni.
Halaman : 1 2 Selanjutnya