Morotai, Maluku Utara- Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pulau Morotai, mencatat ekspor tuna selama lima (5) tahun terakhir mengalami fluktuatif.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Morotai, Yoppy Jutan, ketika dikonfirmasi haliyora.id, Rabu (18/1/2023).
“Ekspor ikan tuna dari Morotai setiap tahun cenderung mengalami fluktuatif jumlahnya. Misalkan pada tahun 2018 sekitar 74,5 ton, pada tahun 2018 itu perdana atau pertama kali ikan tuna Morotai di ekspor keluar negeri, kemudian naik 4 kali lipat di tahun 2019 menjadi 295 ton. Akan tetapi, mengalami penurunan lagi lebih dari separuh di tahun 2020 yakni 119,4 ton. Hal itu disebabkan karena Covid-19 sehingga ditahun 2020 untuk ekspor tuna Morotai mengalami penurunan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lanjut Yoppy, pada tahun 2019 ekspor tuna mengalami kenaikan sebanyak 262,4 ton, namun pada tahun 2022 mengalami penurunan menjadi 241,5 ton, selisih 21 ton.
Yoppy menuturkan, dari data record ekspor tuna tertinggi dari Morotai selama 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2019, namun dari sisi volume selisihnya berkisar antara 1 sampai 2 kontener ekspor saja jika dibandingkan dengan data capaian ekspor 2 tahun terakhir.
“Dalam arti data ekspor tersebut yang tercatat langsung dari pelabuhan Morotai dan restuffing melalui pelabuhan Surabaya ke negara Vietnam dan lanjut ke Amerika. Namun ada juga antar pulau ikan tuna tujuan akhir ekspor yang di kirim dari Morotai ke Ternate kemudian menggunakan kontener ke Surabaya dan Jakarta, lalu diekspor ke negara Amerika,” paparnya.
Yoppy menjelaskan bahwa fluktuatif ekspor tuna Morotai sangat tergantung permasalahan dari hulu sampai ke hilir. Selain masalah faktor alam, ketersediaan kuota BBM bersubsidi sangat mempengaruhi jumlah trip melaut dari nelayan.
“Sehingga seluruh hasil tangkapan tuna di Morotai adalah dari nelayan kecil dengan penangkapan harian (one day fishing). Rata-rata per nelayan menghabiskan BBM jenis pertalite sebesar 50 sampai 100 liter per trip tergantung jarak ke fishing ground, dimana dengan quota BBM yang tersedia sekitar 90 kiloliter per bulan tersebut, kami hanya bisa distribusi ke sekitar 300 unit armada tuna Morotai. Itu berarti hanya sekitar 30 pesen dari total armada yang aktif melaut menangkap tuna,” terangnya.
Yoppy bilang bahwa jika kapasitas produksi ditingkatkan, masalah di hilir perlu segera di atasi yakni kuota kontener reefer di Tol Laut perlu di tambahkan agar eksport bisa meningkat. “Jadi semua saling berhubungan dari hulu sampai ke hilir,” tandasnya. (Tir-2)