Oleh : Mukhtar Abdullah Adam (Ketua ISNU Maluku Utara)
Perang bukan semata-mata pertempuran fisik antara kekuatan, melainkan manifestasi dari perebutan kendali atas sumber daya, jalur logistik, dan konsumsi dunia. Konflik kontemporer seperti Iran–Israel, Rusia–Ukraina, dan Cina–Amerika Serikat menunjukkan pola berulang dari sejarah panjang konflik global: perebutan kuasa ekonomi untuk menguasai arus konsumsi dunia.
Senjata hanyalah alat, sementara motif sesungguhnya adalah hegemonik kontrol atas sumber daya dan pasar. Dalam spektrum sejarah panjang tersebut, Moloku Kie Raha—Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, memiliki posisi sentral sebagai sumber komoditas strategis global: cengkeh, atau yang dikenal sebagai emas dari timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cengkeh : “Emas dari Timur” dan Branding Global
Sejak berabad-abad sebelum era kolonial Eropa, cengkeh dari gugus vulkanik Maluku Utara telah menjadi komoditas mewah yang diperdagangkan hingga ke Romawi, Persia, India, dan Cina. Jalur perdagangan ini bersambung di Konstantinopel, pusat episentrum dagang dunia, yang menghubungkan Asia Timur, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa.
Para pedagang Arab menyebut Moloku Kie Raha sebagai Jazirah Al-Mulk (Negeri Para Raja), yang menjadikan cengkeh sebagai produk eksotik dengan fungsi beragam: obat, parfum, spiritualitas, hingga kosmetik elite. Cengkeh menjadi bagian dari imajinasi bangsawan Eropa, termasuk Ratu Elizabeth I, yang dikenal sangat menghargai aroma rempah-rempah Timur.
Kejatuhan Konstantinopel dan Perburuan Rempah Global
Tahun 1453, jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani menghentikan jalur darat dan laut antara Eropa dan Asia. Kelangkaan rempah, terutama cengkeh di pasar Eropa menciptakan shock perdagangan, yang memicu ekspedisi mencari jalur baru menuju Asia. Inilah yang mendorong ekspedisi pelayaran besar, seperti Christopher Columbus (1492): berniat ke Asia Timur mencari rempah, mendarat di Amerika, Hernán Cortés (1519): berlayar ke barat, menaklukkan Kekaisaran Aztec, Francisco Pizarro (1532): mencari jalur rempah di selatan, menaklukkan Inca.
Penemuan Dunia Baru hanyalah efek samping dari pencarian rempah Timur, yang tumbuh dan berkembang dari Perjanjian Tordesillas dan Perebutan Laut Timur, Atas mediasi Paus Alexander VI, ditandatanganilah Perjanjian Tordesillas (1494) antara Spanyol dan Portugal, membagi laut dunia menjadi dua, Timur garis demarkasi (Samudera Hindia, termasuk Maluku): milik Portugal dan Barat garis demarkasi (Samudera Atlantik–Pasifik, termasuk Amerika): milik Spanyol.
Perjanjian ini dibangun atas Teori Mare Clausum oleh John Selden, yang menolak prinsip Laut Bebas (Mare Liberum) dari Hugo Grotius. Dengan Mare Clausum, laut bukan milik bersama umat manusia, tetapi bisa dimiliki dan diklaim sebagai kekuasaan negara. Namun teknologi pengukuran bujur belum akurat, akibatnya, Kepulauan Maluku (Moloku Kie Raha) menjadi titik silang klaim antara Portugal dan Spanyol.
Ternate–Tidore : Konflik Warisan Kolonial Eropa, Dua ekspedisi besar tiba hampir bersamaan
- Francisco Serrão (Portugal) tiba di Ternate (1512), menjalin aliansi dengan Sultan Ternate
- Juan Sebastián Elcano (Spanyol) tiba di Tidore (1521), menjalin relasi dengan Sultan Tidore
Persaingan global Spanyol–Portugal dipindahkan ke medan lokal: Ternate–Tidore, dua kerajaan Islam di Moloku Kie Raha yang kemudian diseret dalam konflik global rempah.
Perjanjian Zaragoza (1529) kemudian menyudahi konflik dua kerajaan Eropa itu—dengan Portugal membeli hak atas Moloku Kie Raha, mengukuhkan monopoli atas cengkeh.
Dari Cengkeh ke Konflik Abadi, Peristiwa Moloku Kie Raha pada abad ke-16 menjadi cermin dari konflik geopolitik global modern: siapa menguasai sumber daya, menguasai dunia. Bom, senjata, nuklir, hingga bambu runcing, semuanya hanyalah “alat”, intinya adalah rempah, emas, minyak, atau Nikel.
Cengkeh dari Moloku Kie Raha, sebagaimana minyak dari Teluk Persia atau gandum dari Ukraina, telah menjadi titik strategis perebutan pengaruh ekonomi dan kedaulatan politik.
Moloku Kie Raha adalah mikrokosmos dari perebutan global. Dari cengkeh yang diperdagangkan melalui Konstantinopel, kejatuhan kota itu, hingga perjanjian kolonial dan monopoli rempah, semua menunjukkan bahwa penguasaan ekonomi selalu menjadi akar utama konflik antarbangsa.
Sejarah cengkeh bukan hanya soal dagang, tetapi tentang kedaulatan, ketimpangan, penjajahan, dan perlawanan. Warisan konflik di gugus pulau ini menjadi cermin konflik global saat ini: siapa menguasai sumber daya, akan menentukan nasib dunia. ***