Moloku Kie Raha : Sumber Konflik Global

- Editor

Selasa, 1 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perang bukan semata-mata pertempuran fisik antara kekuatan, melainkan manifestasi dari perebutan kendali atas sumber daya, jalur logistik, dan konsumsi dunia. Konflik kontemporer seperti Iran–Israel, Rusia–Ukraina, dan Cina–Amerika Serikat menunjukkan pola berulang dari sejarah panjang konflik global: perebutan kuasa ekonomi untuk menguasai arus konsumsi dunia.

Senjata hanyalah alat, sementara motif sesungguhnya adalah hegemonik kontrol atas sumber daya dan pasar. Dalam spektrum sejarah panjang tersebut, Moloku Kie Raha—Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, memiliki posisi sentral sebagai sumber komoditas strategis global: cengkeh, atau yang dikenal sebagai emas dari timur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Cengkeh : “Emas dari Timur” dan Branding Global

Sejak berabad-abad sebelum era kolonial Eropa, cengkeh dari gugus vulkanik Maluku Utara telah menjadi komoditas mewah yang diperdagangkan hingga ke Romawi, Persia, India, dan Cina. Jalur perdagangan ini bersambung di Konstantinopel, pusat episentrum dagang dunia, yang menghubungkan Asia Timur, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa.

Para pedagang Arab menyebut Moloku Kie Raha sebagai Jazirah Al-Mulk (Negeri Para Raja), yang menjadikan cengkeh sebagai produk eksotik dengan fungsi beragam: obat, parfum, spiritualitas, hingga kosmetik elite. Cengkeh menjadi bagian dari imajinasi bangsawan Eropa, termasuk Ratu Elizabeth I, yang dikenal sangat menghargai aroma rempah-rempah Timur.

Kejatuhan Konstantinopel dan Perburuan Rempah Global

Tahun 1453, jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani menghentikan jalur darat dan laut antara Eropa dan Asia. Kelangkaan rempah, terutama cengkeh di pasar Eropa menciptakan shock perdagangan, yang memicu ekspedisi mencari jalur baru menuju Asia. Inilah yang mendorong ekspedisi pelayaran besar, seperti Christopher Columbus (1492): berniat ke Asia Timur mencari rempah, mendarat di Amerika, Hernán Cortés (1519): berlayar ke barat, menaklukkan Kekaisaran Aztec, Francisco Pizarro (1532): mencari jalur rempah di selatan, menaklukkan Inca.

BACA JUGA  Ikhtiar Pembelajaran di Tengah Covid-19 (Kado Hardiknas 2020)

Penemuan Dunia Baru hanyalah efek samping dari pencarian rempah Timur, yang tumbuh dan berkembang dari Perjanjian Tordesillas dan Perebutan Laut Timur, Atas mediasi Paus Alexander VI, ditandatanganilah Perjanjian Tordesillas (1494) antara Spanyol dan Portugal, membagi laut dunia menjadi dua, Timur garis demarkasi (Samudera Hindia, termasuk Maluku): milik Portugal dan Barat garis demarkasi (Samudera Atlantik–Pasifik, termasuk Amerika): milik Spanyol.

Perjanjian ini dibangun atas Teori Mare Clausum oleh John Selden, yang menolak prinsip Laut Bebas (Mare Liberum) dari Hugo Grotius. Dengan Mare Clausum, laut bukan milik bersama umat manusia, tetapi bisa dimiliki dan diklaim sebagai kekuasaan negara. Namun teknologi pengukuran bujur belum akurat, akibatnya, Kepulauan Maluku (Moloku Kie Raha) menjadi titik silang klaim antara Portugal dan Spanyol.

Ternate–Tidore : Konflik Warisan Kolonial Eropa, Dua ekspedisi besar tiba hampir bersamaan

  • Francisco Serrão (Portugal) tiba di Ternate (1512), menjalin aliansi dengan Sultan Ternate
  • Juan Sebastián Elcano (Spanyol) tiba di Tidore (1521), menjalin relasi dengan Sultan Tidore
BACA JUGA  Menjaga Kebebasan Pers Berarti Meningkatkan Kualitas Hidup

Persaingan global Spanyol–Portugal dipindahkan ke medan lokal: Ternate–Tidore, dua kerajaan Islam di Moloku Kie Raha yang kemudian diseret dalam konflik global rempah.

Perjanjian Zaragoza (1529) kemudian menyudahi konflik dua kerajaan Eropa itu—dengan Portugal membeli hak atas Moloku Kie Raha, mengukuhkan monopoli atas cengkeh.

Dari Cengkeh ke Konflik Abadi, Peristiwa Moloku Kie Raha pada abad ke-16 menjadi cermin dari konflik geopolitik global modern: siapa menguasai sumber daya, menguasai dunia. Bom, senjata, nuklir, hingga bambu runcing, semuanya hanyalah “alat”, intinya adalah rempah, emas, minyak, atau Nikel.

Cengkeh dari Moloku Kie Raha, sebagaimana minyak dari Teluk Persia atau gandum dari Ukraina, telah menjadi titik strategis perebutan pengaruh ekonomi dan kedaulatan politik.

Moloku Kie Raha adalah mikrokosmos dari perebutan global. Dari cengkeh yang diperdagangkan melalui Konstantinopel, kejatuhan kota itu, hingga perjanjian kolonial dan monopoli rempah, semua menunjukkan bahwa penguasaan ekonomi selalu menjadi akar utama konflik antarbangsa.

Sejarah cengkeh bukan hanya soal dagang, tetapi tentang kedaulatan, ketimpangan, penjajahan, dan perlawanan. Warisan konflik di gugus pulau ini menjadi cermin konflik global saat ini: siapa menguasai sumber daya, akan menentukan nasib dunia. ***

Berita Terkait

Budidaya yang Terlupakan
PNBP, Nelayan Fonai, dan Keadilan Negara
Geopolitik Dunia dan Peringatan Prabowo Subianto
Ternate Kota Pulau : Banjir, Sampah, dan Visi yang Abai
Daerah Kepulauan Kurang Tepat di Negara Kepulauan
Perikanan Malut Rp 58,98 Miliar, Besar Nilai, Kecil Dampak
Menata Ekonomi Baru, Siaga Menuju Generasi Perang Dunia Ketiga
Armada Pesisir Itu Tak Kunjung Berlayar
Berita ini 21 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 8 Juli 2025 - 19:59 WIT

Budidaya yang Terlupakan

Rabu, 2 Juli 2025 - 12:34 WIT

PNBP, Nelayan Fonai, dan Keadilan Negara

Rabu, 2 Juli 2025 - 11:53 WIT

Geopolitik Dunia dan Peringatan Prabowo Subianto

Selasa, 1 Juli 2025 - 11:21 WIT

Moloku Kie Raha : Sumber Konflik Global

Senin, 30 Juni 2025 - 21:41 WIT

Ternate Kota Pulau : Banjir, Sampah, dan Visi yang Abai

Berita Terbaru

error: Konten diproteksi !!