Oleh : Asmar Hi. Daud
(Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unkhair, Ternate)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika Dr. Mukhtar Adam menyampaikan pandangannya tentang kriteria pemimpin masa depan Kota Ternate, saya sepakat pada sebagian premisnya: bahwa pemimpin memang harus tangguh, adaptif, dan memahami kompleksitas birokrasi. Namun, ada satu hal mendasar yang luput dari sorotan beliau, yakni fakta ekologis bahwa Ternate adalah kota pulau.
Sebagai kota kecil yang dikelilingi laut dan berdiri di atas sejarah panjang Kesultanan Ternate, kota ini bukan sekadar entitas administratif, melainkan simpul penting dalam sejarah maritim Nusantara. Simbol seperti perahu kora-kora, kapal perang tradisional yang dahulu menggetarkan lautan, bukan sekadar artefak budaya, Kora-Kora adalah penanda bahwa Ternate tumbuh dari laut dan untuk laut. Maka, mengabaikan laut dalam visi pembangunan kota hari ini sama artinya dengan mengingkari akar sejarahnya sendiri.
Tak hanya itu, Ternate juga memiliki warisan budaya ekologis yang dalam: tradisi Kololi Kie Mote Ngolo, ritual adat mengelilingi pulau sebagai bentuk penghormatan terhadap laut dan alam sekitar. Ini adalah simbol kesadaran ekologis yang hidup dalam praktik budaya masyarakat pesisir. Namun kini, tradisi seperti itu nyaris dilupakan dalam arah kebijakan kota. Kesakralan laut tergantikan oleh timbunan proyek dan plastik.
Kota Pulau yang Terjebak
Sayangnya, pembangunan Ternate selama ini lebih mencerminkan cara berpikir daratan ketimbang kepulauan. Betonisasi berlebihan, alih fungsi ruang terbuka hijau, serta proyek reklamasi yang minim kajian daya dukung lingkungan menunjukkan bahwa laut belum pernah sungguh-sungguh dimasukkan dalam visi pembangunan. Ironisnya, kota yang dibentuk oleh laut, justru semakin menjauh dari laut.
Akibatnya bisa dirasakan: banjir menjadi langganan harian di musim penghujan. Drainase tersumbat oleh sedimen dan sampah, sementara jalur alami aliran air menuju laut tertutup oleh beton, timbunan pasir, plastik, dan bangunan. Kota seluas sekitar 111 km² ini seolah lupa bahwa dirinya adalah pulau vulkanik yang ekosistemnya khas dan rentan.
Krisis yang Dinormalisasi
Masalah krusial lain yang tak masuk prioritas elite kota adalah soal sampah, terutama plastik. Dari Kalumata, Salero, Dufa-dufa hingga swering pusat kota, pesisir dan kali mati (barangka) berubah jadi tempat pembuangan akhir tak resmi. Selokan, trotoar, jembatan, hingga badan jalan dipenuhi kantong plastik dan limbah rumah tangga. Pemandangan ini sudah bukan hal luar biasa, ia telah menjadi wajah keseharian kota.
Kota ini seperti tenggelam dalam lautan sampah, apalagi di musim penghujan. Pengelolaan sampah masih bertumpu pada skema kumpul-angkut-buang, tanpa pemilahan, tanpa edukasi berkelanjutan, dan tanpa penguatan kelembagaan seperti bank sampah. TPA Takome sudah tak lagi memadai, air lindi mengalir, dan tentu mengancam kesehatan masyarakat.
Namun, isu ini tak muncul sebagai agenda politik utama. Wacana publik dan elite masih berputar pada elektabilitas dan jargon pembangunan, bukan pada penyelamatan ruang hidup kota.
Kepemimpinan Ekologis, Bukan Sekadar Tangguh
Apa gunanya pemimpin tangguh jika ia abai pada ekologi lautnya? Apa arti pengalaman teknokratik bila kota yang dipimpin tenggelam oleh sampah dan tercekik banjir? Kota pulau ini tidak hanya membutuhkan administrator yang cekatan, tetapi pemimpin yang berpikir ekologis dan bertindak partisipatif.
Pemimpin yang melihat masyarakat pesisir bukan semata data statistik atau penerima bansos, melainkan penjaga ekosistem dan identitas kota. Pemimpin yang mampu menautkan sejarah kejayaan bahari masa lalu dengan arah pembangunan masa depan.
Visi yang Diperlukan
Ternate adalah miniatur Maluku Utara. Bila Ternate gagal mengelola airnya, lautnya, dan komunitas pesisirnya, maka mimpi menjadi contoh kota maritim modern hanya khayalan.
Olehnya, dibutuhkan pemimpin, Pertama ; mampu menyusun masterplan ekologis sebagai dasar arah pembangunan, bukan hanya RPJMD normatif. Kedua ; menjadikan penanganan sampah plastik dan banjir sebagai indikator keberhasilan, dan
Ketiga ; menghidupkan budaya bahari dan ekonomi biru berbasis kota pantai, yakni menjadikan laut sebagai pusat orientasi pembangunan, bukan hanya sebagai batas wilayah.
Menolak Reklamasi
Dalam kondisi krisis lingkungan, rencana Pemerintah Kota Ternate untuk kembali melakukan reklamasi pantai justru menjadi sinyal ironi. Seperti saya tulis dalam artikel “Ternate Bisa Tumbuh Tanpa Harus Menenggelamkan Laut” (Tandaseru.com, 17 Mei 2025), pembangunan tak harus menindas laut.
Ada banyak cara membangun kota secara inklusif dan berkelanjutan tanpa mempersempit ruang hidup pesisir atau merampas akses masyarakat terhadap laut. Reklamasi bukan jawaban. Inovasi sosial, tata ruang berbasis ekologi, dan penguatan ekonomi pesisir jauh lebih menjanjikan untuk keberlanjutan.
Terlalu lama laut dibungkam dari arah pembangunan Ternate. Terlalu sering pemimpin bicara visi besar tanpa pernah menginjakkan kaki di Mangga Dua, Bastiong saat hujan, atau bertanya mengapa anak-anak Salero dan Dufa-dufa bermain di antara sampah.
Ternate tak butuh pemimpin yang hanya kuat di atas panggung, tapi yang sanggup berjalan menyusuri garis pantai, mendengar suara ombak yang marah, dan menyusun kebijakan dari jeritan ekosistem yang luka. Karena kota ini bukan sekadar pulau kecil, Ternate adalah kora-kora sejarah yang kini mencari arah, dan Kololi Kie Mote Ngolo yang menanti untuk diingat kembali. ***