Oleh : Dr. Mohtar Adam
Akademisi Universitas Khairun Ternate
Hilirisasi yang digadang-gadang sebagai jalan menuju kemajuan ternyata menjadi momok bagi petani di Halmahera Tengah (Halteng), yang kini merasa mimpi mereka hampir sirna. Proses ini yang diklaim sebagai bagian dari Program Strategis Nasional dengan sokongan fasilitas negara, justru memperlihatkan dominasi investasi asing yang berujung pada terkuncinya hak-hak petani.
Dalam praktiknya, kehadiran program tersebut tidak hanya mempersempit ruang gerak para petani untuk mempertahankan lahan dan penghidupan mereka, tetapi juga menunjukkan lemahnya peran pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan setempat dalam melindungi hak-hak masyarakat lokal. Dengan kondisi seperti ini, hilirisasi yang seharusnya menjadi katalisator pembangunan dan kesejahteraan masyarakat berubah menjadi ancaman nyata yang menggerogoti kedaulatan petani atas tanah mereka sendiri.
Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan menjadi solusi bagi berbagai permasalahan justru menghadirkan tantangan baru yang semakin menekan masyarakat dan pemerintah daerah. Alih-alih memberikan kemudahan dan keadilan, aturan ini malah memperkuat kesan keterpinggiran pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan dalam proses pembangunan. Dengan pengaturan kewenangan yang cenderung sentralistik, ruang bagi pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi menjadi semakin sempit.
Ironisnya, otonomi yang dulu diperjuangkan dan menjadi kebanggaan diskusi di warung kopi, kini seolah tereduksi menjadi wacana belaka tanpa implementasi nyata. Sentralisasi yang diatur sedemikian rupa tidak hanya menimbulkan ketimpangan, tetapi juga menciptakan jarak antara kebijakan pusat dan kebutuhan riil masyarakat di daerah.
Hilirisasi sering kali digambarkan sebagai transformasi besar yang menjanjikan kemajuan, seolah-olah mengubah buah kelapa menjadi emas. Janji-janji manis tentang perubahan dari provinsi agraris menjadi provinsi industri, serta dari wilayah tertinggal menjadi kawasan maju, terus digaungkan sebagai harapan masa depan. Namun, realitas yang muncul justru bertolak belakang dengan ekspektasi tersebut.
Hilirisasi ini tidak membawa kesejahteraan sebagaimana yang dijanjikan, melainkan berubah menjadi Drakula yang menghisap ekonomi rakyat. Dampaknya terlihat jelas melalui inflasi yang meroket dan ketimpangan harga yang semakin melebar, menyisakan kesulitan ekonomi bagi masyarakat kecil. Alih-alih menjadi solusi pembangunan, hilirisasi hanya meninggalkan tulang belulang berupa kerugian dan kekecewaan bagi mereka yang terpinggirkan dalam arus perubahan tersebut.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya