Oleh : Nuryadin Ahmad
Merespons kondisi kekacauan politik yang dimainkan oleh Ikram Malan Sangaji dan Ahlan Djumadil (IMS ADIL), telah membuka mata, telinga, dan hati kita semua. Bahwa apa yang mereka lakukan adalah praktik politik dopamin.
Dopamin adalah hormon yang juga dikenal sebagai hormon bahagia, yang memberikan rasa senang dan motivasi untuk melakukan sesuatu saat merasa senang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Profesor Klinis Bidang Pengembangan Kepemimpinan dan Perubahan Organisasi di INSEAD, Manfred Kets de Vries, mereka yang berjuang untuk meraih kekuasaan sedang mencoba mengatasi perasaan tidak berdaya. Itu adalah cara mereka untuk mengimbangi perasaan tidak aman, sebuah pertahanan terhadap perasaan awal tentang ketidakmampuan, kelemahan, ketakutan, tidak dicintai, atau tidak disukai. Mengejar kekuasaan, kata de Vries, juga bisa terkait dengan komponen neurokimia. Memiliki kekuasaan atas orang lain memiliki efek yang memabukkan. Hal ini meningkatkan testosteron, yang pada gilirannya meningkatkan pasokan dopamin-neurotransmitter yang memberi rasa senang dalam sistem otak.
“Lonjakan dopamin ini menjelaskan sifat adiktif kekuasaan dan mengapa sangat sulit untuk melepaskannya,” tulis de Vries. Kelebihan dopamin dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan emosional. Menurut de Vries, dopamin dapat mengurangi empati serta mendorong perilaku sombong dan impulsif, sehingga menyebabkan kesalahan penilaian yang parah dan pengambilan risiko yang tidak perlu. “Akhirnya, orang-orang yang memiliki terlalu banyak kekuasaan bahkan dapat kehilangan rasa realitas dan moralitas mereka,” kata de Vries.
Lebih lanjut, peneliti di University of Oxford, Nayef Al-Rodhan dalam The Conversation menulis, seperti pecandu narkoba dan alkohol, orang merasa sulit mengakui bahwa mereka adalah pecandu kekuasaan. Layaknya obat- obatan yang membuat ketagihan, kekuasaan menggunakan sirkuit penghargaan di otak, menghasilkan kesenangan yang luar biasa dan adiktif. Mirip pecandu, kebanyakan orang yang berkuasa akan berusaha mempertahankan rasa senang yang mereka dapatkan dari kekuasaan,terkadang dengan cara apa pun. Ketika ditahan, seperti zat yang sangat adiktif lainnya, kekuasaan menghasilkan keinginan pada tingkat sel yang menghasilkan penolakan perilaku yang kuat untuk melepaskannya.
Karena penarikan kekuasaan secara tiba-tiba, seperti penghentian penggunaan narkoba secara tiba-tiba pula, menghasilkan keinginan yang tak terkendali, mereka yang memiliki kekuasaan, terutama kekuasaan absolut, sangat tidak mungkin melepaskannya dengan sukarela, lancar, dan tanpa korban jiwa dan materi.
Dalam konteks Halmahera Tengah, IMS telah terinfeksi politik dopamin, yang berarti ia kecanduan kekuasaan. Upaya-upaya kotornya untuk mencalonkan diri hingga penggunaan kekerasan menunjukkan gejala kecanduan kekuasaan yang parah.
Selain itu, terlihat jelas bahwa Ikram haus kekuasaan dengan menggunakan cara-cara yang tidak bermoral dan melanggar etika serta hukum. Hal ini terbukti dari keterlibatan birokrasi, menjadi kaki tangan oligarki, dan menggunakan sumber daya kekuasaan untuk mendukung dirinya dalam pencalonan sebagai Bupati Halmahera Tengah. Namun ia lupa, semakin ia menipu dirinya untuk memegang kekuasaan secara absolut, justru semakin ia paranoid (ketakutan akan berbagai kekalahan). Itulah yang terekspresikan dari segala cara yang dia lakukan.
Selain itu, kekuasaan yang absolut dan tak terkendali punya efek yang terwujud dalam penurunan fungsi kognitif, penilaian yang buruk, narsisme yang ekstrem, perilaku menyimpang, dan kekejaman yang mengerikan. Dari kondisi tersebut, saya teringat dua tokoh penting ahli strategi perang dalam buku mereka menjelaskan: “Sun Tzu menekankan bahwa perang tidak boleh dianggap remeh. Bentuk Tertinggi dari peperangan adalah mengalahkan musuh tanpa melakukan pertempuran berdarah”.
Di samping itu, bersikap tenang dan tak terduga adalah karakter yang harus dimiliki oleh seorang jenderal perang. Sun Tzu Berpendapat bahwa menggunakan kecerdasan dibandingkan kekerasan adalah cara untuk menang dengan cerdas dan efektif. “Robert Greene : Bergerak lebih dahulu-berinisiatif menyerang sering kali akan merugikan Anda. Anda membuka strategi Anda dan membatasi pilihan anda. Sebagai gantinya, coba Anda temukan kekuatan bertahan dan membiarkan pihak lawan bergerak lebih dahulu, sehingga memberi Anda Fleksibilitas untuk balas menyerang dari sudut mana pun. Kalau lawan Anda Agresif, pancing mereka untuk menyerang dengan gegabah sehingga posisi mereka lemah.”
Dua strategi di atas sangat kontekstual dengan apa yang sedang dilakukan Elang Rahim. Bahwa dengan berposisi tenang, menggunakan kecerdasan, dan fleksibilitas, Elang Rahim telah menunjukkan penguasaan dan kemenangan dalam arena pertarungan. ***