Oleh : Faisal R
(Pemerhati Sosial)
——————–
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya memulai dengan dialog Socrates tentang demokrasi. Socrates bertanya jika kamu melakukan perjalanan melalui laut, siapa idealnya yang diinginkan untuk memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas kapal tersebut ?, hanya sembarangan orang atau orang-orang terdidik dalam aturan dan tuntutan pelayaran?
Adaimantus menjawab yang ke dua, namun Socrates bertanya lagi, jadi mengapa kita terus berfikir, bahwa sembarangan orang harus di anggap cocok menilai siapa yang harus menjadi penguasa sebuah negara?
Dari pandangan Socrates di atas, saya membuat pengandaian bahwa Demokrasi itu sistem rasional, sistemnya bekerja dengan baik kalau demos “rakyat” menghasilkan kratos “pemerintahan” lewat sistem yang rasional, dimaksudkan agar menghasilkan wakil rakyat yang membuat kebijakan rasional sesuai dengan realitas kehidupan rakyatnya. Untuk itu amanah dari UUD 1945 memberikan tugas itu pada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar melahirkan pemimpin yang rasional.
Ketika bangsa itu cerdas maka demokrasi bisa dijalankan dengan rasional, mengarahkan kratos/pemerintah melayani rakyat dan mencerdaskanya.
Ketika negara gagal mencerdaskan kehidupan bangsa, maka demokrasi yang dijalankan itu bukan demokrasi rasional tetapi demokrasi semu, dimana rakyat yang lulusan SD itu, kesadarannya tidak independen tetapi dimanipulasi kesadaran politiknya dan di minta melegimitasi proses demokrasi yang berjalan dalam menentukan masa depan bangsa 5 tahun berdasarkan One man one vote, tidak ada salahnya juga, karena aturan mainnya seperti itu, tetapi hasilnya saat ini serba salah.
Untuk meminimalkan itu sedari awal, sistem rasional ini, foundation fathers kita merancang hasil Pileg yang memilih/menentukan eksekutif, itu adalah infrastruktur politik yg di rancang oleh Bapak Pendiri Bangsa kita, bukan di buka raya dan bersamaan.
Kenapa dilakukan seperti itu agar eksekutif negara dilahirkan di parlemen, yang diisi oleh orang-orang ideologis yg lebih rasional dan memahami tujuan bernegara, dari pada eksekutif dihasilkan oleh rakyat yang berpendidikan rendah, bisa menghasilkan pemimpin pengabdi oligarki.
Pertanyaan muncul ada juga yang berpendidikan tinggi tetapi pendukung oligarki dan kaki tanganya, jawabanya adalah baik yang pendidikan rendah dan tinggi selama tidak mengembangkan kesadaran kritis dan moralitas dengan baik, dipastikan kesadaran politiknya tidak benar-benar independen tetapi hasil engineering kesadaran oleh kaki tangan oligarki.
Karena negara belum terlalu berhasil mencerdaskan kesadaran politik rakyatnya, maka kita berharap tugas itu di emban oleh partai politik, agar menjadi wadah pengembangan kesadaran politik rakyat, maka partai politik wajib melahirkan kader kebangsaan, pemimpin pemimpin rakyat, disini akan terbentuk Demokrasi berbasis pengkaderan partai dan ideologis.
Sekarang banyak politisi berbasis elektabilitas keluarga dan money, dan siapa kuasai media dan punya ekonomi mapan, maka bisa menjadi politisi, tanpa perlu punya riwayat berjuang panjang bersama rakyat.
Bahkan pada momen pendaftaran caleg kalau komposisi kurang, untuk memenuhi kuota, sapa saja di tarik tanpa perhatikan proses kaderisasi partai, bisa saja tetapi hasilnya politisi karbitan, setengah matang, daya juang di Parlemen lemah (wakil rakyat rentang jadi model 4D: datang, duduk, dengar, duit)+ pengejar proyek APBD, dan penjunjung IUP.
Politisi yang terlahir dari proses seperti ini, banyak dijadikan patronase oleh rakyat, dan membudaya, hasilnya demokrasi elektoral jalan tetapi demokrasi ekonomi kerakyatan tidak jalan, itu karena kita meritualkan demokrasi semu.
Demokrasi semu seperti itu, Pemilu hanya dijadikan legitimasi kekuasaan, karena rakyat mengidap kesadaran palsu. Kesadaran palsu adalah keadaan dimana rakyat tidak sadar atas realitas eksploitasi yang di alaminya, situasi ini terjadi karena tidak ada kader partai massa yang bergerak di grassroot/akar rumput, kalaupun ada paling pada saat momen politik elektoral saja, iyakan?
Jadi Liberilisasi politik pasca Reformasi, kita belum berhasil dalam pengkondisian infrastruktur politik. Misalnya ya di penyelenggara pemilu KPU dan bawaslu terlahir belum terlepas 100 persen dari proses eksekutif dan legislatif di pusat. Seharusnya ini di buat lembaga independen profesional tersendiri, perekrutan seperti ASN lewat CAT, yang nantinya seluruh aturan dan proses sengketa dan putusan di hasilkan sendiri, tanpa melibatkan lembaga trias politika, mungkin cuma anggaran yang disediakan oleh Kementrian Keuangan.
Memang berat menjalankan Demokrasi rasional. Demokrasi langsung di Yunani kuno juga tak sanggup, padahal jumlah penduduk tak sebanyak Indonesia ya, apa lagi kita, apa kata dunia?
Amerika saja yang dibilang negara Demokrasi yang paling tua, tapi akhir-ahir ini sudah jadi pikun, di pimpin oleh seorang kakek, yang negaranya dikuasai oleh kartel perbankan, pengusaha minyak dan industrial kompleks militer. Kebijakan luar negerinya kaya autisme, proxiwar sana-sini dari Eropa Timur, Afrika Utara hingga Timur Tengah yang sangat irasional dan sangat tidak demokratis.
Kembali ke kita, rujukan Demokrasi kita itu spiritnya ada di Pancasila, karena Pancasila Bung Karno bilang di gali dari bumi Indonesia. Maka demokrasi Indonesia bukan Demokrasi yang menjunjung ateisme, sebab sedari awal masyarakat kita sebelum agama samawi datang, mereka sudah mengenal Tuhan dalam penyebutan lokal masing-masing.
Demokrasi kita menjunjung humanisme bukan humanisme ala Eropa, sebagai hasil dari penegasian dari dogma agama dan hasil revolusi borjuis Perancis melawan Feodalisme, tetapi humanisme kita terlahir dari dialektika panjang perjuangan masyarakat Indonesia melawan Kolonialisme, bahkan agama menjadi spirit pembebasan melawan penjajahan.
Demokrasi kita menjunjung Nasionalisme, bukan Nasionalis Eropa, dimana para Borjuis melawan Feodalisme, dan bukan juga Ultranasionalis seperti Fasisme Jerman, tetapi Nasionalisme kita adalah Nasionalisme Revolusioner, Nasionalisme yang anti terhadap Kolonialisme dan Imprealisme.
Demokrasi kita bukanlah demokrasi Eropa yang menjunjung liberalisme politik dan sistem one man one vote, tetapi Demokrasi kita adalah musyawarah mufakat, dimana musyawarah mufakat itu harus dijadikan Wisdom dalam setiap keputusan.
Demokrasi ekonomi kita bukanlah Demokrasi ekonomi ala Eropa Barat yang menjunjung tinggi liberalisme ekonomi/individualisme, tetapi Demokrasi kita adalah Demokrasi ekonomi sosialis yang menjunjung tinggi keadilan sosial untuk semua rakyat.
Pendek kata inti sari dari demokrasi Pancasila menurut bung Karno kalau di peras adalah Gotong Royong, gotong royong berasal dari kata dalam bahasa Jawa. Kata ‘gotong’ dipadankan dengan kata ‘pikul atau angkat’. Sedangkan kata ‘royong’ dipadankan dengan bersama-sama. Secara sederhana kata tersebut berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau dapat diartikan juga sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama.
Jadi demokrasi kita bisa dikatakan adalah demokrasi gotong royong, dari semua untuk semua, bukan Demokrasi pencitraan berbasis gorong-gorong, dari semua buat satu orang punya popularitas.
Jadi selama kita mempraktekan Demokrasi semu, selama itu juga jangan harap ada demokrasi ekonomi dan perubahan yang mendasar, kita juga tau ada paradoks dalam demokrasi, satu sisi demokrasi menghendaki adanya penguasa, tentu ada yang di kuasai, dalam demokrasi ada dua sisi itu.
Marx menggambarkan proletariat versus Borjuis, meminjam istilah Empedokles cinta (philotes) dan benci (neikos). Karena demokrasi itu hakikatnya adalah kebebasan menyampaikan pendapat, itu tanda bahwa selama ada orang berjuang menyampaikan pendapat berarti ada yang membuat orang tidak puas dari kebijakan, jadi dalam Demokrasi itu sebenarnya memelihara kontradiksi yang bersifat Inheren.
Praktisnya, jangan mengharap Demokrasi semu bisa hilang, dan Demokrasi rasional yang Pancasilais bisa hadir karena Demokrasi semu itu adalah tempat pesta poranya politisi yang menghamba pada kekuasaan. Demokrasi rasional itu diraih dengan perjuangan yang sulit dan berliku, ibarat Proletar dan nelayan mendayung di antara dua karang, yang dikejar oleh kapal Destroyer borjuis. Kaum rebahan kalian tidak sanggup, anak-anak revolusi saja tak kuat, apa lagi saya, he..he…***