Liputan ini merupakan kerja sama AJI Indonesia, Kurawal Foundation, dan independen.id
Peliput : Sahrul Jabidi
Editor : A. Ahmad Yono
Hari mulai pagi, perjalanan menuju Desa Kulo Jaya Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara memakan waktu perjalanan kurang lebih dua jam dari Desa Lelilef Sawai menuju desa setempat, pada Minggu 26 November.
Dengan menggunakan sepeda motor, perjalanan menuju desa itu melewati jalan berlubang tergenang air, karena baru saja terjadi hujan. Ketika memasuki desa, terlihat hamparan lahan perkebunan dan sawah milik warga. Memang rata-rata aktivitas warga di tempat itu adalah bertani. Mereka menanam padi dan tanaman pangan lokal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halmahera Tengah, Desa Kulo Jaya Kecamatan Weda Tengah memiliki luas wilayah 53,05 km dengan jumlah penduduk sebanyak 444 jiwa yang terdiri dari 261 laki-laki sebanyak 261 orang dan sisanya perempuan.
Kabupaten Halmahera Tengah sendiri memiliki luas 227.683 hektar, dan sejak Agustus 2018 dibebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar. Dengan kata lain 60 persen Halmahera Tengah jadi industri tambang yang sebagian berada di kawasan hutan.
Desa Kulo Jaya adalah salah satu desa dimana warga harus menanggung nasib dari dampak aktivitas industri pertambangan. Lahan perkebunan dan pertanian milik rakyat terdampak lumpur pertambangan akibat banjir beberapa waktu yang lalu. Konon banjir itu menyebabkan lahan perkebunan warga tak lagi subur. Buktinya hasil kebun berkurang drastis.
Misalnya Wantoneta Koyoyo warga Desa Kulo Jaya ini. Dia terlihat lesu duduk bersama anaknya Atu Duwonge yang baru saja pulang dari kebun, Minggu 26 November, sekitar pukul 11.18 WIT.
Wantoneta tinggal di desa Kulo Jaya ini sejak tahun 2003. Ia memiliki lahan dua hektar. Satu hektar masih bersertifikat yang ditanami padi, pisang dan ubi, sementara satunya belum dimanfaatkan karena belum bersertifikat.
“Waktu perusahaan belum masuk kita bertani masih sangat baik, semua hasil tanaman masih bisa makan, tapi sekarang malah tambah sengsara. Jadi kalau kita bilang dampak dari tambangmang di Desa ini paling parah,” kata Wantoneta, saat dia dikunjungi media.
Wanita 58 tahun ini bercerita bagaimana sulitnya warga bercocok tanam akibat tanaman rusak terlibas banjir dan lumpur. Menurut dia kondisi sekarang ini sangatlah berbeda dibanding sebelum masuknya industri pertambangan.
Dulu padi maupun tanaman lokal berupa ubi kayu, ubi jalar, pisang, jagung, sagu, dan juga sayur-sayuran tumbuh subur di atas perkebunan miliknya. Semua hasil tanaman masih dapat dikonsumsi untuk kebutuhan dalam rumah. Namun sekarang justru kebalikannya.
Menurut dia, meski aktivitas pertambangan hanya terjadi hujan di bagian pegunungan, tetap saja berdampak pada tanaman akibat sedimen dari hasil tambang.
Tanaman yang baru saja ditanam awalnya masih sangat subur, tapi ketika berselang beberapa bulan tanaman sudah mati. Ada yang masih hidup, namun hasil tanaman rusak akibat lumpur yang memenuhi lahan perkebunan warga mencapai 30 cm.
Ia menduga tanaman yang rusak karena terkontaminasi dengan limbah industri pertambangan, sehingga tidak bisa panen. Lahan perkebunan miliknya masih dipertahankan, hanya saja tanaman dalam perkebunan itu tak bisa diharapkan karena tidak memiliki hasil.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya