Salim Taib (Wakil Sekretaris ICMI Orwil Maluku Utara)
Paul McMahon dalam karya berjudul “Merebut Makan Politik Baru Pangan yang kemudian diberi pengantar oleh Noer Fauzi Rachman dengan Judul “ Memahami Mata Rantai Makanan Kita” dalam kata pengantar Fauzi memberi gambaran soal siklus makanan kita hingga tersaji di atas meja makan untuk di santap, satu siklus yang amat panjang perjalanannya, memang ada sebagian lain makanan yang di masak langsung di panen dari halaman rumah mereka dan begitu pula manusia yang hidup di desa masih banyak juga makanan yang dimakan merupakan hasil panen langsung dari lahan kebun mereka. Akan tetapi kita yang bertempat tinggal di perkotaan makanan yang tersaji dan kita santap setiap hari itu sumbernya di pasar, sumbernya di minimarket, sumbernya di Supermarket dan pasar-pasar umum lainnya dan semua yang di beli di pasar itu kebanyakan bukan di produksi dan hasil panen di negeri sendiri, di Ternate, di Halbar, di Haltim, di Tidore, umumnya di impor dari negeri seberang.
Di musim era globalisasi sekarang ini makanan global ada di mana-mana hal ini disebabkan oleh peran jaringan internasional melalui pasar raya tersebut, perusahan-perusahan raksasa yang berdagang makanan waralaba berbasiskan hak menggunakan model bisnis dan merek tertentu untuk masa waktu tertentu lalu tidak berhenti disitu, televisi di jejaki dengan iklan-iklan makanan yang kita juga tidak pernah tau asal muasalnya, semua itu dimaksudkan memompa naik ghairah konsumen dan seragam dan bahkan sudah menerabas masuk transaksi komersial melalui dunia internet, Tulisan ini mencoba menggiring masuk pada alam kesadaran kita untuk merenungi nasib para petani lokal yang lagi pilu memikirkan jalan keluar, bagaimana hasil-hasil produksinya untuk dipasarkan? Untuk dapat survive di kemudian hari.
“Kemerdekaan Bagi Petani Kemerdekaan Untuk Semua” buku ini ditulis oleh Agus Pakpahan ada satu pertanyaan yang menggelitik nurani kita sebagai bangsa yang konon disebut sebagai Bangsa yang Agraris, bangsa yang separuh jumlah penduduknya bekerja sebagai petani yang memanfaatkan lahan mereka untuk bercocok tanam. Pertanyaannya mengapa pertanian baik bagi peradaban, tetapi justru tidak baik bagi petani? Mengapa setelah lebih dari 7000 tahun pertanian berkembang, kehidupan para petani justru semakin menderita? Apalagi kehidupan petani di negeri berkembang seperti Indonesia, para petani di negeri Maju menerima tingkat pendapatan lebih tinggi dibandingkan petani-petani di Negeri yang sedang berkembang. Para petani di negara berkembang mengalami situasi lebih buruk lantaran mereka harus bertahan hidup dengan cara mereka sendiri di tengah lingkungan ekonomi dan politik yang saling berlawanan dan merampas.
Halaman : 1 2 Selanjutnya