Karena itu, kesadaran penganut agama-agama akan pengalaman memaknai ajaran agama, yang lebih manusiawi harus terus dilakukan untuk kehidupan yang lebih beradab. Maka tidak ada jalan yang lebih arif selain membaca ulang kitab suci masing-masing ummat beragama dengan menekankan pada prinsip persamaan ajaran agama.
Moderasi Prinsip Persamaan
Agama dengan kitabnya masing-masing, yang diturunkan oleh Tuhan pada ummatnya yang berbeda-beda, sudah pasti setiap penganut agama akan menafsir secara berbeda pula, karena itu tak jarang kita temukan titik persinggungan yang membahayakan, itu karena penganut agama mencoba mentafsir bahasa Tuhan mereka sesuai dengan kemauannya sendiri dan sangat dipengaruhi situasi dan kondisi yang melingkupinya, bisa jadi karena faktor kedengkian, faktor politik kekuasaan, sosio kultur.
Menafsir pesan agama untuk disampaikan kepada ummatnya masing-masing, pada konteks kekinian dalam upaya membangun kedamaian abadi antar ummat beragama, di tengah-tengah beragamnya kehidupan, ada beberapa hal yang harus dihindari dan terus dilakukan, agar agama menjadi (melting pot) perekat kehidupan damai.
Pertama, mewujudkan inklusivisme beragama. Keterbukaan dalam beragama tidak bisa diartikan hanya sekedar pengakuan kebenaran agama yang kita anut, akan tetapi dengan penuh kearifan mengakui kebenaran agama orang lain, kesadaran inilah oleh para pemimpin Gereja dalam Konsili Vatikan II pada tahun 1960-an menyepakati bahwa saatnya kita meninggalkan prinsip “Extra Eccleciam Nulla Salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan), diganti dengan pandangan yang lebih positif terhadap agama-agama lain dengan mengakui adanya keselamatan di luar Gereja, begitu pula sebaliknya ummat Islam pada saat yang sama harus mengakui di luar masjid ada keselamatan. Klaim kebenaran terhadap ajaran agama yang kita anut adalah sesuatu yang harus kita lakukan, namun pada saat yang sama kita juga harus mengakui kebenaran agama lain.