Ternate, Maluku Utara- Sejumlah spanduk dengan berbagai tulisan dibawa oleh sekelompok pengunjukrasa dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Maluku Utara.
Spanduk-sapanduk itu berisi tulisan seperti “Halmahera Bukan Untuk Tambang Sawit, Tambang bukan Solusi.”
Ada juga bertuliskan ”Maluku Utara Krisis Iklim, Selamatkan Hutan Gane” serta ada spanduk bertuliskan “Laut Kita Bukan Tempat Sampah”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yasri Abdurahman (34) tahun, warga Kelurahan Bastiong Talangame merasa kagum melihat aksi Walhi dengan membawa spanduk yang menurutnya bertuliskan hal-hal yang sangat positif itu saat melewati taman Nukila Ternate untuk membeli ta’jil, Jum’at (22/04/2022).
Kepada Halitora, Yasir mengatakan, dirinya baru menyadari bahwa pada hari ini (Jum’at, red) bertepatan dengan Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April.
“Aksi menyambut Hari Bumi kali ini beda dengan aksi-aksi yang lain, karena ada yang gunakan baju putih yang menutupi semua tubuh dan juga ada bola bumi,” ujarnya, takjub.
Pantauan Haliyora, dalam menggelar aksi tersebut, Walhi menyuarakan ‘Selamatkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara dan cabut izin PT. GMM di Gane, Kabupaten Halmahera Selatan serta Stop Kekerasan Seksual.
Koordinator Aksi, Wahida A. Abd Rahim ketika dikonfirmasi mengatakan, semua isi alam baik air, udara, tanah, hutan, sungai, tumbuhan, dan laut adalah kekayaan alam di bumi.
“Kekayaan yang sumbernya dari alam ini menjadi milik bersama dan untuk kepentingan bersama, sehingga tidak bole hanya dikuasai seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan individu atau perusahaan/kelompok,” ujarnya.
Menurut Wahida, idealnya sumber daya alam dikuasai dan dikelola oleh negara untuk dan atas nama rakyat, karena sumber daya alam itu milik bersama. “Untuk itu sunber daya alam di suatu daerah seharusnya warga asli atau masyarakat adat setempat menjadi lokomotif dalam mengatur SDA tersebut secara arif dan bijaksana, bukan diatur melalui kebijakan pemerintah atau swasta,” tandas Wahida.
Sayangnya, kata Wahida, masalah pengelolaan SDA tersebut selalu melalui keputusan politik yang dilahirkan pemerintah sehingga berbenturan dengan yang mengakibatkan malapetaka bagi kelestarian alam.
Wahida menyebutkan, setidaknya ada 127 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Maluku Utara dengan total lahan seluas 686,268 hektar.
“Masifnya konsesi pertambangan tersebut tidak hanya berada di pulau besar seperti pula Halmahera, tetapi juga menyebar hingga ke pulau terkecil seperti Pulau Pakal, Mabuli, dan Gee di Halmahera Timur, Gebe di Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Taliabu, dan Pulau Obi di Halmahera Selatan,” sebut Wahida.
Selain izin pertambangan, lanjut Wahida, Maluku Utara saat ini tengah berhadapan dengan ekspansi industri perkebunan monokultur sawit di Gane Kabupaten Halmahera Selatan, yaitu Korindo Group melalui anak usahanya PT. GMM. Belasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga giat meratakan hutan di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Pulau Obi.
“Keberadaan industri tambang, sawit, dan konsesi hutan ini telah berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan di Maluku Utara. Ragam kisah terkait perampasan lahan dan ruang produksi rakyat, pencemaran air tanah, hilangnya wilayah tangkapan nelayan, kriminalisasi dan intimidasi, termasuk juga deforestasi hutan, menjadi kian lumrah hari ini,” sambungnya.
Bahkan pesisir dan pulau-pulau yang dihuni masyarakat seperti Pulau Gebe, Obi, Taliabu, Halmahera, dan pulau tak berpenduduk, sambung Wahida, juga secara kultural dimanfaatkan sebagai tempat persinggahan dan wilayah tangkap nelayan.
“Ini sebagai contoh nyata betapa eksploitasi habis-habisan selama ini telah membuat pulau-pulau itu beserta ekosistem yang bergantung di atasnya sekarat.
Penambangan telah mengupas vegetasi dan membongkar isi perut pulau. Kerusakannya tak hanya pada wilayah daratan, tapi juga laut yang rentan tercemar material tambang,” tutupnya. (Arul-1)