Tobelo, Haliyora
Bencana banjir di Kabupaten Halmahera Utara mengawali tahun 2021. Sejumlah desa di lima kecamatan dilaporkan terendam banjir. Paling parah di Kecamatan Kao Barat. Ada lima desa di sekitar sungai Wailamo diamuk banjir. Guyuran hujan deras sejak Kamis membuat Sungai Wailimo meluap. Air setinggi hampir dua meter merendam pemukiman warga lima desa, pada Sabtu pagi (16/01/2021).
Cerita itu sudah berlalu seminggu, namun musibah itu masih membekas kuat di ingatan warga. Mungkin tak terlupakan selamanya, dan menjadi cerita pilu untuk anak cucu kemudian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adolfina, warga desa Bailengit mengisahkan, di sabtu pagi itu ia bangun sekitar jam 06.00, lalu memulai aktifitas rutinnya sebagai ibu rumah tangga yakni bersih-bersih rumah. Saat menyapu di halaman rumahnya yang hanya berjarak sekitar 5 meter dari sungai wailamo, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dari sungai itu. Namun ia tidak menyangka kalau suara gemuruh itu akibat derasnya arus sungai, sehingga ia dan anaknya tenang-tenang saja.
Adolfina dan anaknya sudah terbiasa dengan suara itu. Lagi pula, kalaupun banjir itu sudah langganan warga lima desa di pinggiran sungai Wailamo setiap tahun.
“Sekitar jam 06.00 atau 06.30 pagi, saya manyapu di pinggir rumah. Tiba-tiba saya dengar surah gemuruh dari sungai. Anak saya juga sudah bangun dan mendengar suara itu, tapi kami anggap itu sudah biasa, kalau musim hujan. Kami juga sudah terbiasa, karena setiap tahun, kalau musim hujan pasti kami lima desa di pinggiran sungai Wailamo ini kebanjiran akibat luapan air sungai,” tutur wanita yang biasa disapa Fina itu.
Lanjut cerita, sekitar lima menit kemudian, Fina dan anaknya dikejutkan dengan serbuan air sungai ke dalam rumah mereka sangat deras, seiring dengan suara riuh dari warga desa yang lari berhamburan keluar rumah dalam keadaan panik. Ternyata sungai wailamo sudah meluap, menumpahkan air bercampur lumpur setinggi hampir dua meter di desa itu. Semua yang ada di desa itu terendam banjir.
“Kami tak menyangka air banjir setinggi itu. Memang di desa kami dan empat desa lainnya sudah terbiasa dengan banjir setiap tahun, hanya saja kali ini sangat parah. Makanya kami sangat panik. Setiap warga masing-masing lari menyelamatkan diri, tak ada yang berfikir menyelamatkan barang-barang. Kalaupun sempat, ya paling menyambar barang yang terdekat dan bawa lari, itu saja,” tutur Fina haru.
Meski begitu, Fina masih bersyukur, karena musibah itu datang di waktu pagi dan warga sudah bangun. Ia tak bisa bayangkan andai musibah itu datang pada waktu penduduk sudah terlelap dibuai mimpi, maka korban jiwa pasti tak terhindarkan.
“Ini sudah takdir Tuhan, dan kami masih beryukur karena musibah ini datang di waktu pagi, dimana orang sudah bangun. Saya tidak dapat bayangkan, kalau banjir ini datang pada malam hari dan warga sudah tidur, maka pasti banyak korban jiwa. Sekarang ini kami sudah tak punya apa-apa lagi. Kiranya pemerintah segera kirim bantuan,” ucap Fina pasrah.
Cerita sedih itu juga diungkapkan Olfon, warga desa Tuguis. Olfon juga mengaku lima desa di pinggiran sungai Wailamo setiap tahun mendapat jatah banjir, kalau musim hijan tiba. Namun tahun ini sangat parah.
“Kalu dulu air paling setinggi lutut orang dewasa, tapi kali ini airnya setinggi kerongkongan orang dewasa, ungkapnya.
Menurut Olfan, musibah ini hendaknya menjadi pelajaran bagi semua orang, terutama pemerintah agar segera menormalisasi sungai Wailamo.
“kata orang-orang pande, sungai Wailamo musti dinormalisasi. Saya sendiri tara mangarti istilah normalisasi sungai. Yang saya agak faham adalah bukan hanya sungai yang tara normal, tetepi mungkin kita semua juga sudah tara normal memperlakukan alam, sehingga alam menumpahkan kemarahannya kepada kita,” ujar Olfan puitis. (Fik-1)