Sepucuk Harapan Menuju Konfercab NU Tikep

- Editor

Sabtu, 11 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy


Murad Polisiri
Ketua DPC KPB Kota Tidore Kepulauan

Fenomena “gaduhnya” social-religius ditengah kehidupan masyarakat akhir-akhir ini dijagat maya, nampaknya tak luput dari menguritanya arus globalisasi ideology impor, fakta keberadaan globalisasi yang kian memanas. Indonesia menjadi lahan empuk banyaknya ideology, bermunculan hingga mengeser indentitas kebangsaan kita tak terkecuali identitas keagamaan [islam].

Dalam identitas keagamaan, kehadiran Islam Arab berwajah fundamentalis menyebabkan umat sulit membedakan antar budaya dan agama. Gerakan dakwah Islam yang bersifat masif dan tersistematif berwajah kebudayaan menjadi acuan bagi berkembang tidaknya NU di Maluku Utara terkhususnya Kota Tidore Kepulauan. Pada titik inilah, gagasan ke-Islam-an berbasis identitas local menjadi primadona tersendiri untuk membendung Islam Arab berwajah fundamentalis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, sebagian besar masyarakat Kota Tidore Kepulauan terutama warga Nahdliyyin atau Ahlulsunna Wal-jama’ah an-Nahdliyyin tanpa disadari telah mengilhami ajaran Islam hasil asimilasi antara Islam Universal dan anasir-anasir local melalui ijthima dan qiyas yang dilakukan oleh kalangan sufi dan ulama. Namun disisi lain; “Mitos mayoritas” masih saja menjadi faktor dominan dalam hal kenyamanan bermasyarakat. Ajaran Ahlulsunna Wal-jama’ah an-Nahdliyyin masih dipandang sebagai identitas ‘ubudiyyah bagi sebagian masyarakat kita hari ini maka tak heran jika, ritual keagamaannya sangat syarat akan amalia NU namun pengakuan atas dirinya bagian dari NU sangatlah jauh dari apa yang kita indahkan.

Asimilasi ke-agama-an yang belum diindahkan ini adalah kritikan bagi kita warga NU bahwa kita perlu turun mengambil bagian menjelaskan kepada Masyarakat melalui pola pemerdayaan sebab menurut hemat saya paparan gejala intoleransi yang terjadi mulai menyebar hingga kepelosok desa di Maluku Utara termasuk Kota Tidore Kepulauan, mulai dari menyebar informasi palsu dan fitnah berbasis agama keyakinan, penolakan rumah ibadah dan simbol-simbol agama, termasuk kasus-kasus radikalisme dengan kekerasan. Meningkatnya intensitas intoleransi ditegah melajunya era modern ini agaknya masyarakat kita makin alergi dengan perbedaan agama dan keyakinan dan sejauh ini kita bisa merasakan bahkan mendengar dan melihat secara langsung baik direalitas kehidupan social masyarakatnya atau media social sumber penyebabnya utamanya adalah Ekonomi.

BACA JUGA  Cegah Gizi Buruk, Pemerintah Harus Sediakan Dapur Anak Sehat di Setiap Desa

Lewat momentum Konferensi Cabang yang pertama ini kita jadikan momentum untuk membenah sekaligus menyusun serta merencanakan program yang tidak hanya di peruntukan untuk gagasan social-religius saja namun juga memikirkan mayoritas warga NU didesa-desa dapat terperdaya lewat program petunjuk yang kita buat, di lain pihak, desa sampai saat ini lekat dengan kenyataan tingkat angka kemiskinan semakin meningkat, dari system ritual keagamaan desa tidak bisah sepenuhnya di pisahkan dari mayoritas warga NU. Agen-agen pengerak kaum muda NU, khususnya di desa-desa perlu dilibatkan serta didorong ikut berpartisipasi menyusun program pemerdayaan desa. Warga NU terkhusus Anak Muda NU tidak bisa di andang sebelah mata dalam konteks penguatan kemandirian desa, suda saatnya Warga NU didorong untuk bertani secara alami dengan bekal ritual-ritual keagamaan keercayaan yang mereka yakini itulah poin penting yang harus kita pikirkan bahwa kemandirian desa adalah kekuatan menopang laju perkembangan Negara.

Juri Lina, seorang penulis asal Swedia, dalam bukunya yang berjudul “Architec of deception-the Concealed Histori Of Fremasonry” berpendapat bahwa ada tiga cara melemahkan menjajah suatu negeri; pertama: kaburkan sejarahnya, Kedua; hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenaranya, dan yang ketiga; putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitive.

BACA JUGA  Mengapa Nilai UNBK Siswa Malut Rendah?

Untuk mengatasi hal diatas dibutuhkan peran serta strategi yang bukan saja kreatif dan inovatif berbasis digital tetapi juga kolaboatif dengan semua elemen pada setiap lembaga dan banon-banonnya di bawah naugan NU selain itu program kolaboratif antara masyarakat sipil khususnya pemerintah, kelompok perempuan, dan sector swasta melalui program ekonomi dan kewirausahaan di tingkat desa atau kelurahan sekaligus mendapat pelatihan dan penguatan nilai-nilai Islam, toleransi dan perdamaian dimasyarakat.

Kita perlu mengambil spirit histografi Sunan Ampel dan Raja Pandhita yang menyebarkan dakwah di Surabaya dan Gresik melalui jaringan kekuatan gerakan politik kekuasaan dalam bentuk kerajaan demak, atau membangun teologi Islam secara bijak yang sejak dulu dicontohkan oleh Walisongo dengan mengkonstruksi kisah-kisah asli Mahabrata dan Ramayana dalam kesenian rakyat hindu-budha sebagai sarana mengenalkan ajaran islam dan visi social kemasyarakat islam, baik dari system pemerintahan, hubungan bertetangga, hingga ola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi tanpa menyinggung masyarakat pribumi.

Cara ber Islam ala NU melainkan wujud dari memertahankan tradisi local masyarakatnya harus di topang oleh kualitas sumber daya manusia [SDM] dan teknologi berbasis data yang mempuni. Dalam penguatan kohesi sosial penguatan nilai-nilai perdamaian, kesetaraan gender, persaudaraan, toleransi serta penguatan nilai serta norma  kearifan local berbasis modern harus melibatkan anak-anak muda NU yang dianggap produktif, inovatif dibidangnya masing-masing. Suda saatnya generasi muda NU diberika kesempatan untuk terlibat mengurusi Lembaga-lembaga NU sebagai wujud pengabdiaannya atau membiarkan era globalisasi menjadi momok terhadap identitas bangsa yang berpotensi membentuk masyarakat menjadi lupa atas kediriannya sebagai manusia nusantara [berbudaya].

Berita Terkait

Membingkai Makna Fagogoru Dalam Refleksi 34 Tahun Kabupaten Halmahera Tengah
Cegah Gizi Buruk, Pemerintah Harus Sediakan Dapur Anak Sehat di Setiap Desa
Hubungan Home Schooling, Televisi dan Internet
Ikhtiar Pembelajaran di Tengah Covid-19 (Kado Hardiknas 2020)
Mengapa Nilai UNBK Siswa Malut Rendah?
Berita ini 21 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 31 Oktober 2024 - 22:01 WIT

Membingkai Makna Fagogoru Dalam Refleksi 34 Tahun Kabupaten Halmahera Tengah

Rabu, 15 Maret 2023 - 23:03 WIT

Cegah Gizi Buruk, Pemerintah Harus Sediakan Dapur Anak Sehat di Setiap Desa

Sabtu, 11 Juli 2020 - 14:54 WIT

Sepucuk Harapan Menuju Konfercab NU Tikep

Sabtu, 2 Mei 2020 - 02:34 WIT

Hubungan Home Schooling, Televisi dan Internet

Jumat, 1 Mei 2020 - 20:31 WIT

Ikhtiar Pembelajaran di Tengah Covid-19 (Kado Hardiknas 2020)

Berita Terbaru

RSUD Ir Soekarno Morotai

Headline

Komisi III DPRD Morotai Soroti Kondisi RSUD Ir Soekarno

Jumat, 17 Jan 2025 - 23:14 WIT

Kondisi AGK di RST sebelum dikembalikan ke Rutan Ternate, Senin (13/01/2025).

Headline

KPK Bakal Datangkan Dokter dari IDI Periksa Kesehatan AGK

Jumat, 17 Jan 2025 - 22:48 WIT

error: Konten diproteksi !!