Bukan Maluku Utara namanya, jika Pilkada-nya adem ayem. Bahasa ini sering terdengar jadi bahan diskusi banyak kalangan. Toh, uraian sejarah memaklumkan jika pelaksaan pemilihan kepala daerah di Maluku Utara selalu diwarnai intrik, mulai dari periode episode I “Pertarungan Thaib-Gafur” semasa masih dpilih DPRD, yang berlanjut ke episode kedua yang sempat jadi warna kelam dunia politik di Malut.
Intrik itu berlanjut saat episode baru pertarungan AGK-AHM seakan menjadi estafet melanjutkan intrik-intrik lainnya. Sempat diwarnai kasus “Tip-Ex” yang berujung PSU dan kemudian berakhir dengan kemenangan AGK untuk menjalani periode pertama kepemimpinannya sebagai Gubernur Maluku Utara.
Kini, intrik itu kembali terjadi. Saling menikung usai jatuhnya putusan PSU oleh Mahkamah Konstitusi pun terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berawal dari dugaan “pelanggaran administrasi” yang dituduhkan pada calon petahana AGK. Bawaslu yang menerima laporan warga akan adanya pelantikan sejumlah pejabat dan Kepala Sekolah menjelang PSU, lalu memutus bahwa ada pelanggaran administrasi sebagaimana isyarat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dalam pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) dan menjatuhkan sanksi diskualifikasi sebagaimana ayat (5) dalam pasal tersebut.
Sorotan tajam pun langsung dilayangkan ke institusi pengawas Pemilu yang beralamat di jalan Makugawene Kelurahan Tabona itu. Sikap kelima komisioner yang dipimpin Plt Aslan Hasan SH MH dengan plenonya pada 26 Oktober itu dianggap terburu-buru bahkan terkesan tertutup karena baru diumumkan pada 2 Oktober 2018, atau tujuh hari setelah pleno memutuskan untuk mendiskualifikasi AGK-Ya.
[artikel number=4, tag=”PSU,PILGUB” ]
Toh, Bawaslu tetap bergeming. Putusan itu lantas diteruskan berupa rekomendasi bernomor PM.00.01/420/MU/2018 pada KPU untuk mendiskualifikasi kepesertaan AGK dalam Pilgub Malut. KPU pun diberi waktu tujuh hari untuk menindak lanjut rekomendasi tersebut.
Lahirnya rekomendasi itu sendiri membuat situasi politik menjadi “panas”. Saling tuding pun dilontarkan masing-masing kubu menjelang sidang Mahkamah Konstitusi pasca pelaksanaan PSU. Hal itu pun makin menarik ketika dalam sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan laporan para pihak pasca PSU, dimana bisa dikatakan Rekomendasi itu menjadi “headline” saat sidang.
Puncaknya saat KPU dalam plenonya pada 8 Oktober 2018 mementahkan rekomendasi tersebut dengan sejumlah argumen dan kajiannya atas tindak lanjut tersebut. Kubu AHM-Rivai pun meradang. Apa daya, celah untuk “memenangi” Pilkada, bisa dikatakan hampir pasti tertutup. Minimnya perolehan suara di PSU yang belum mampu mengejar “deposit” AGK-Ya, membuat Paslon Nomor 1 ini menjadikan “Rekomendasi Bawaslu” sebagai senjata pamungkas meraih kemenangannya.
Sejumlah upaya akan dilakukan agar jurus pamungkasnya itu bisa benar-benar bisa ampuh. Termasuk akan melayangkan gugatan ke PTUN dan DKPP untuk mementahkan tindak lanjut KPU Malut itu. Kubu AGK-Ya pun tak mau tinggal diam. Memiliki alasan telah mengantongi izin Mendagri terkait langkah kebijakan mutasinya, tentunya kubu Paslon nomor 3 itu akan berusaha keras menjaga agar tetap “berada diatas angin”.
Kini, semua mata dan telinga warga Maluku Utara akan kembali ke Medan Merdeka Barat. Semuanya menunggu hasil pemeriksaan dan putusan yang akan dilahirkan Mahkamah Konstitusi. Toh, tidak sedikit yang merasa sudah cukup dengan dagelan politik yang terus saja terjadi di daerah Moloku Kie Raha ini. Harapannya, Mahkamah Konstitusi akan melahirkan putusan yang adil bagi semua pihak, dan melahirkan pemimpin yang bisa mengakhiri drama kelam pilkada di Maluku Utara ini. Semoga.